Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering)

ttppu

Di Indonesia, kasus pencucian uang yang terjadi dan terungkap dalam satu dekade ini sudah tidak dapat dihitung dengan jari. Khalayak mudah mengetahuinya dari banyak pemberitaan-pemberitaan mengenai kasus tersebut di berbagai media yang beredar di masyarakat. Dalam artikel ini, kami belum akan membahas mengenai kasus-kasus pencucian uang yang ada di Indonesia, tapi kami akan memulainya dengan mengetengahkan apa itu pencucian uang dan apa yang menjadi dasar hukumnya di Indonesia.

Tindak Pidana Asal (predicate crime) Pencucian Uang

Pasal 2 UU 8/2010 menggunakan unsur “hasil tindak pidana”, sementara Hagan (2013) menggunakan istilah “uang kotor” dalam definisinya tentang pencucian uang. Kedua definisi tersebut memiliki persamaan yang menggambarkan bagaimana uang yang diperoleh merupakan hasil dari kejahatan (ilegal)—kemudian uang hasil dari kejahatan tersebut diproses melalui pencucian uang, dimaksudkan agar menjadi legal. Kejahatan apa saja yang menjadi sumber dana untuk pencucian uang? Atau dengan kalimat lain, kejahatan apa yang merupakan tindak pidana asal (predicate crime) terjadinya pencucian uang?

Mengacu pada Pasal 2 UU 8/2010, yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana asal bagi terjadinya pencucian uang, antara lain: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan penjara 4 tahun atau lebih.

Dasar Hukum Pencucian Uang

Saat ini yang menjadi dasar hukum pencucian uang adalah “Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang” (UU 8/2010), dimana Undang-Undang tersebut menggantikan undang-undang sebelumnya yang mengatur pencucian uang yaitu, “Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002″ (UU 15/2002) sebagaimana telah diubah dengan “Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003″ (UU 25/2003)

Definisi dan Tahapan Pencucian Uang

Dalam sebuah literatur tentang Kriminologi, Hagan (2013) menyatakan bahwa definisi pencucian uang berkenaan dengan kegiatan membersihkan atau mencuci “uang kotor” (dana-dana ilegal). Dari definisi harfiah dan sederhana tersebut, kami menyimpulkan bahwa prinsip dasar kegiatan pencucian uang yaitu mengubah dari sesuatu yang kotor menjadi bersih, dari sesuatu yang ilegal menjadi legal.

Sedangkan, mengacu pada UU 8/2010, pencucian uang didefinisikan sebagai kegiatan: menempatkan, mentransfer, mengalihkan membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan (Pasal 3); menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 4); dan menerima, menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana (Pasal 5).

Dari definisi menurut UU 8/2010 di atas, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam PPATK E-Learning (2014) mengelompokkan pelaku pencucian uang ke dalam 2 klasifikasi, yaitu pelaku pencucian uang aktif dan pelaku pencucian uang pasif. Pelaku pencucian uang aktif, yaitu pelaku yang memenuhi Pasal 3 dan Pasal 4 UU 8/2010, dimana pelaku pencucian uang adalah sekaligus pelaku tindak pidana asal dan merupakan pihak yang mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil tindak pidana. Pelaku pencucian uang pasif, yaitu pelaku yang dikenakan Pasal 5 UU 8/2010, dimana pelaku pencucian uang adalah pihak yang menikmati manfaat dari hasil kejahatan dan berpartisipasi menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan.

Pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang TPPU. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu sebagai berikut:

  1. Placement

Placement (penempatan) merupakan upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana ke dalam sistem keuangan (financial system) atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam sistem keuangan, terutama sistem perbankan. Placement merupakan tahap yang paling sederhana, suatu langkah untuk mengubah uangyang dihasilkan dari kegiatan kejahatan ke dalam bentuk yang kurangmenimbulkan kecurigaan dan pada akhirnya masuk ke dalam jaringan sistem keuangan.

  1. Layering

Layering (transfer) merupakan upaya mentransfer harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana (dirty money) ynag telah berhasil ditempatkan pada penyedia jasa keuangan sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa keuangan yang lain. Dilakukannya layering, membuat penegak hukum sulit untuk dapat mengetahui asal-usul harta kekayaan tersebut.

Dalam layering terjadi pemisahan hasil kejahatan dari sumbernya yaitu aktivitas kejahatan terkait melalui beberapa tahapan transaksi keuangan atau pelaku pencuci uang berusaha memutuskan hubungan uang hasil kejahatan itu dari sumbernya. Terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui transaksi kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana “haram” tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank. Dengan demikian, pada tahap ini sudah terjadi pengalihan dana dari beberapa rekening ke rekening lain melalui mekanisme transaksi yang kompleks, termasuk kemungkinan pembentukan rekening fiktif dengan tujuan menghilangkan jejak.

  1. Integration

Integration (penggabungan) merupakan upaya menggunakan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana yang telah berhasil masuk ke dalam sistem keuangan melalui penempatan (placement) atau transfer (layering) sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan halal (clean money), untuk kegiatan bisnis yang halal atau untuk membiayai kembali kegiatan kejahatan. Disini yang yang “dicuci” malalui placement maupun layering dialihkan ke dalam kegiatan-kegiatan resmi sehingga tampak tidak berhubungan sama sekali dengan aktivitas kejahatan sebelumnya yang menjadi sumber dari uang yang dicuci. Integration ini merupakan tipu muslihat untuk dapat memberikan legitimasi terhadap uang hasil kejahatan.

Ada banyak cara melakukan integration, namun yang seringdigunakan adalah metode yang berasal dari tahun 1930-an yaitu metode loanback atau metode loan default. Metode loanback meliputi simpanan berjumlah besaryang biasanya disimpan di bank luar negeri. Kemudian bank membuat pinjaman dari jumlah uang yang disimpan. Uang yang didapatkan dari pinjaman ini dapat digunakan dengan bebas karena uang itu akan terlacak sebagai uang yang berasaldari transaksi yang sah. Dengan kata lain, metode loanback merupakan metode dengan meminjam uang sendiri. Pada tahap integration tersebut, uang yang telah dicuci dimasukkan kembali kedalam sirkulasi dengan bentuk yang sejalan dengan aturan hukum.

  1. Pengaturan Tindak Pidana Pencucian Uang Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

Dalam Undang-Undang TPPU, hasil tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, atau tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Pencucian uang dibedakan dalam tiga tindak pidana:

  1. Tindak pidana pencucian uang aktif, yaitu setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, menbayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan uang uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
  2. Tindak pidana pencucian uang dikenakan pula bagi mereka yang menikmati hasil tindak pidana pencucian uang yang dikenakan kepada setiap orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
  3. Tindak pidana pencucian uang pasif yang dikenakan kepada setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Hal tersebut dianggap juga sama dengan melakukan pencucian uang. Namun, dikecualikan bagi Pihak Pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Dalam Undang-Undang TPPU, dikatakan bahwa setiap orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama seperti dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5.

Ketentuan di Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang TPPU dikecualikan bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan. Untuk delik tindak pidana pencucian uang seperti dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang TPPU dilakukan oleh korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau Personil Pengendali Korporasi. Di luar pengaturan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 terdapat pasal-pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang diatur pada Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang TPPU.

Menurut Undang-Undang TPPU, transaksi keuangan mencurigakan adalah:

  1. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari pengguna jasa yang bersangkutan;
  2. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh pihak pelapor sesuai dengan ketentuan undang-undang ini;
  3. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
  4. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan/PPATK (Indonesian Financial Transaction Reports and Analysis Center/INTRAC) seperti yang diatur dalam Pasal 1 angka (2) Undang-Undang TPPU adalah lembaga independen dibawah Presiden Republik Indonesia yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana Pencucian Uang. Dengan dibentuknya PPATK ini, maka Indonesia telah memenuhi salah satu dari The Forty Recommendations yang diusulkan oleh Financial Action Task Force On Money Laundering (FATF), dalam usaha pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia. Dalam Pasal ke 16 The Forty Recommendationsdari FATF disebutkan mengenai pembentukan Financial Intelligent Unit yang secara umum bertugas menganalisis transaksi-transaksi keuangan untuk mencegah adanya transaksi yang merupakan kegiatan pencucian uang, dan lembaga yang memiliki kewenangan seperti Financial Intelligent Unit di Indonesia ini adalah PPATK.

Fungsi PPATK seperti yang diatur dalam Undang-Undang TPPU antara lain adalah:

  1. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang;
  2. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK;.
  3. Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor; dan.
  4. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi transaksi keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

 

Kesimpulan

Pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat dalam ketentuan Pasal (3), (4), dan (5) Undang-Undang TPPU. Intinya adalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang, yaitu Placement(penempatan), Layering (transfer), dan intergration (penggabungan). Semua hal menyangkut tindak pidana pencucian uang diatur dalam Undang-Undang nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang.

gambar logo3

TAX LAW (Hukum Pajak)

tax-law

Pengertian Hukum Pajak (Tax Law)
Hukum pajak, dalam bahasa Inggris, disebut tax law. Dalam bahasa Belanda, hukum pajak disebut belasting recht.
Sebenarnya hukum pajak disebut juga hukum fiscal yang berarti adalah keseluruhan dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat melalui kas negara. fiskal memiliki substansi yang berbeda.
Hukum pajak hanya sekadar membicarakn tentang pajak sebagai objek kajiannya, sedangkan hukum fiskal meliputi pajak dan sebagian keuangan Negara sebagai objek kajiannya.
Hukum pajak dalam arti luas adalah hukum yang berkaitan dengan pajak. Hukum pajak dalam arti sempit adalah seperangkat kaidah hukum tertulis yang memuat sanksi hukum. Hukum pajak sebagai bagian ilmu hukum tidak lepas dari sanksi hukum sebagai substansi di dalamnya agar Pejabat Pajak maupun Wajib Pajak menaati kaidah hukum. Sanksi hukum yang dapat diterapkan berupa sanksi administrasidan sanksi pidana.
Hukum pajak ialah suatu kumpulan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak (Rochmat Soemitro, 1979:24—25). Dengan kata lain, hukum pajak menerangkan :
a. Siapa-siapa Wajib Pajak (subjek pajak); 
b. Objek-objek apa yang dikenakan pajak (objek pajak); 
c. Kewajiban Wajib Pajak terhadap pemerintah; 
d. Timbulnya dan hapusnya utang pajak; 
e. Cara penagihan pajak; 
f. Cara mengajukan keberatan dan banding pada peradilan pajak 
Undang-undang No. 28 Tahun 2007 (UU KUP) tidak menyebutkan pengertian hukum pajak, melainkan hanya menyatakan kedudukannya sebagai “ketentuan umum” bagi peraturan perundang-undangan perpajakan yang lain. UU KUP merupakan kaderwet yang berfungsi sebagai payung terhadap undang-undang pajak yang sifatnya sektoral.
Pengertian hukum pajak dapat memberi petunjuk bagi penegak hukum pajak dalam menggunakan wewenang dan kewajibannya untuk menegakkan hukum pajak. Sebaliknya, dapat dijadikan pedoman bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban dan menggunakan hak dalam rangka memperoleh perlindungan hukum sebagai konsekuensi dari penegakan hukum pajak.
Penegakan hukum pajak di dalam lembaga peradilan dilakukan melalui lembaga peradilan pajak mauapun lembaga peradilan umum. Penegakkan hukum pajak melalui lembaga peradilan pajak tertuju pada penyelesaian sengketa pajak dan dilakukan dalam Lembaga Keberatan, Pengadilan Pajak, dan Mahkamah Agung, atau hanya Pengadilan Pajak dan Mahkamah Agung saja.
Penegakan hukum pajak melalui lembaga peradilan umum tertuju pada penyelesaian tindak pidana pajak dan dilakukan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung. Sedangkan penegakan hukum pajak di luar lembaga peradilan dilakukan oleh Pejabat Pajak dengan menggunakan wewenang berupa menerbitkan surat ketetapan pajak dan surat keputusan yang terkait dengan penagihan pajak.

TINDAK PIDANA

tindak-pidana

TINDAK PIDANA

PENGERTIAN TINDAK PIDANA

Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan kehendaknya dan karenanya merugikan kepentingan umum/masyarakat termasuk kepentingan perseorangan, lebih lengkap kiranya apabila harus ternyata bahwa tindakan tersebut terjadi pada suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Artinya, dipandang dari sudut tempat, tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana ketentuan pidana Indonesia berlaku; dipandang dari sudut waktu, tindakan itu masih dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana (belum daluwarsa); dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada suatu keadaan dimana tindakan itu dipandang sebagai tercela.
Dengan perkataan lain suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti penerapan ketentuan pidana Indonesia.
Dari uraian tersebut di atas, secara ringkas dapatlah disimpulkan bahwa unsur-unsur tindak pidana yaitu :
  1. Subyek dari pelaku tindakan;
  2. Kesalahan dari tindakan;
  3. Bersifat melawan hukum dari tindakan tersebut;
  4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang/ perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; dan
  5. Waktu, tempat dan keadaan terjadinya suatu tindak pidana.

Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :

  • Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana.
  • Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.
  • Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula. “ Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan olehnya”.

Selanjutnya Moeljatno membedakan dengan tegas dapat dipidananya perbuatan(die strafbaarheid van het feit) dan dapat dipidananya orang (strafbaarheid van den person). Sejalan dengan itu memisahkan pengertian perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility). Pandangan ini disebut pandangan dualistis yang sering dihadapkan dengan pandangan monistis yang tidak membedakan keduanya.

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA

Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana. Sedangkan menurut Moeljatno “Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut”. Untuk mengetahui adanya tindak pidana, maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons, unsur-unsur tindak pidana (strafbaar feit) adalah :

  • Perbuatan manusia (positif atau negative, berbuat atau tidak berbuat atau membiarkan).
  • Diancam dengan pidana (statbaar gesteld)
  • Melawan hukum (onrechtmatig)
  • Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband staand)
  • Oleh orang yang mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatoaar person).

Simons juga menyebutkan adanya unsur obyektif dan unsur subyektif dari tindak pidana (strafbaar feit).

Unsur Obyektif :

Yang dimaksud dengan unsur-unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu didalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari sipelaku itu harus dilakukan, dimana unsur-unsur objektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
  • Sifat melanggar hukum atau wederrechtelijkheid,
  • Perbuatan orang
  • Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.
  • Kualitas dari sipelaku, misalnya “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” didalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu perseroan terbatas” didalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP,
  • Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam pasal 281 KUHP sifat “openbaar” atau “dimuka umum”.
  • Kausalitas, yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Unsur Subyektif :

Yang dimaksud dengan unsur-unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri sipelaku atau yang berhubungan dengan diri sipelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya, dimana unsur-unsur subjektif dari sesuatu tindak pidana itu adalah :
  • Kesengajaan atau tidak kesengajaan (dolus atau culpa),
  • Orang yang mampu bertanggung jawab
  • Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud didalam Pasal 53 ayat 1 KUHP,
  • Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapa misalnya didalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain,
  • Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang misalnya yang terdapat didalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP,
  • Perasaan takut atau vress seperti antara lain yang terdapat didalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.
  • Adanya kesalahan (dollus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan.

Kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana :

  • Perbuatan (manusia).
  • Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (syarat formil).
  • Bersifat melawan hukum (syarat materiil)

 

Unsur-unsur tindak pidana menurut Moeljatno terdiri dari :

1)    Kelakuan dan akibat

2)    Hal ikhwal atau keadaan tertentu yang menyertai perbuatan, yang dibagi menjadi :

  1. Unsur subyektif atau pribadi

Yaitu mengenai diri orang yang melakukan perbuatan, misalnya unsur pegawai negeri yang diperlukan dalam delik jabatan seperti dalam perkara tindak pidana korupsi. Pasal 418 KUHP jo. Pasal 1 ayat (1) sub c UU No. 3 Tahun 1971 atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 perubahan atas jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang pegawai negeri yang menerima hadiah. Kalau yang menerima hadiah bukan pegawai negeri maka tidak mungkin diterapka pasal tersebut

  1. Unsur obyektif atau non pribadi

Yaitu mengenai keadaan di luar si pembuat, misalnya pasal 160 KUHP tentang penghasutan di muka umum (supaya melakukan perbuatan pidana atau melakukan kekerasan terhadap penguasa umum). Apabila penghasutan tidak dilakukan di muka umum maka tidak mungkin diterapkan pasal ini

Unsur keadaan ini dapat berupa keadaan yang menentukan, memperingan atau memperberat pidana yang dijatuhkan.

(1)  Unsur keadaan yang menentukan misalnya dalam pasal 164, 165, 531 KUHP

Pasal 164 KUHP : barang siapa mengetahui permufakatan jahat untuk melakukan kejahatan tersebut pasal 104, 106, 107, 108, 113, 115, 124, 187 dan 187 bis, dan pada saat kejahatan masih bisa dicegah dengan sengaja tidak memberitahukannya kepada pejabat kehakiman atau kepolisian atau kepada yang terancam, diancam, apabila kejahatan jadi dilakukan, dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Kewajiban untuk melapor kepada yang berwenang, apabila mengetahui akan terjadinya suatu kejahatan. Orang yang tidak melapor baru dapat dikatakan melakukan perbuatan pidana, jika kejahatan tadi kemudian betul-betul terjadi. Tentang hal kemudian terjadi kejahatan itu adalah merupakan unsur tambahan.

Pasal 531 KUHP : barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut, tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan kepadanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

Keharusan memberi pertolongan pada orang yang sedang menghadapi  bahaya maut jika tidak memberi pertolongan, orang tadi baru melakukan perbuatan pidana, kalau orang yang dalam keadaan bahaya tadi kemudian lalu meninggal dunia. Syarat tambahan tersebut tidak dipandang sebagai unsur delik (perbuatan pidana) tetapi sebagai syarat penuntutan.

(2)  Keadaan tambahan yang memberatkan pidana

Misalnya penganiayaan biasa pasal 351 ayat (1) KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan. Apabila penganiayaan tersebut menimbulkan luka berat; ancaman pidana diperberat menjadi 5 tahun (pasal 351 ayat 2 KUHP), dan jika mengakibatkan mati ancaman pidana menjad 7 tahun (pasal 351 ayat 3 KUHP). Luka berat dan mati adalah merupakan keadaan tambahan yang memberatkan pidana

(3)  Unsur melawan hukum

Dalam perumusan delik unsur ini tidak selalu dinyatakan sebagai unsur tertulis. Adakalanya unsur ini tidak dirumuskan secara tertulis rumusan pasal, sebab sifat melawan hukum atau sifat pantang dilakukan perbuatan sudah jelas dari istilah atau rumusan kata yang disebut. Misalnya pasal 285 KUHP : “dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh di luar perkawinan”. Tanpa ditambahkan kata melawan hukum setiap orang mengerti bahwa memaksa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan adalah pantang dilakukan atau sudah mengandung sifat melawan hukum. Apabila dicantumkan maka jaksa harus mencantumkan dalam dakwaannya dan oleh karenanya harus dibuktikan. Apabila tidak dicantumkan maka apabila perbuatan yang didakwakan dapat dibuktikan maka secara diam-diam unsure itu dianggap ada.

Unsur melawan hukum yang dinyatakan sebagai unsur tertulis misalnya pasal 362 KUHP dirumuskan sebagai pencurian yaitu pengambilan barang orang lain dengan maksud untuk memilikinya secara melawan hukum.

Pentingnya pemahaman terhadap pengertian unsur-unsur tindak pidana. Sekalipun permasalahan tentang “pengertian” unsur-unsur tindak pidana bersifat teoritis, tetapi dalam praktek hal ini sangat penting dan menentukan bagi keberhasilan pembuktian perkara pidana. Pengertian unsur-unsur tindak pidana dapat diketahui dari doktrin (pendapat ahli) ataupun dari yurisprudensi yan memberikan penafsiran terhadap rumusan undang-undang yang semula tidak jelas atau terjadi perubahan makna karena perkembangan jaman, akan diberikan pengertian dan penjelasan sehingga memudahkan aparat penegak hukum menerapkan peraturan hukum.

Bagi Jaksa pentingnya memahami pengertian unsur-unsur tindak pidana adalah :

1)    Untuk menyusun surat dakwaan, agar dengan jelas;

2)  Dapat menguraikan perbuatan terdakwa yang menggambarkan uraian unsur tindak pidana yang didakwakan sesuai dengan pengertian / penafsiran yang dianut oleh doktrin maupun yurisprudensi;

3)  Mengarahkan pertanyaan-pertanyaan kepada saksi atau ahli atau terdakwa untuk menjawab sesuai fakta-fakta yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan;

4)  Menentukan nilai suatu alat bukti untuk membuktikan unsur tindak pidana. Biasa terjadi bahwa suatu alat bukti hanya berguna untuk menentukan pembuktian satu unsur tindak pidana, tidak seluruh unsur tindak pidana;

5)  Mengarahkan jalannya penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan berjalan secara obyektif. Dalil-dalil yang digunakan dalam pembuktian akan dapat dipertanggungjawabkan secara obyektif karena berlandaskan teori dan bersifat ilmiah;

6)  Menyusun requisitoir yaitu pada saat uraian penerapan fakta perbuatan kepada unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan, atau biasa diulas dalam analisa hukum, maka pengertian-pengertian unsur tindak pidana yang dianut dalam doktrin atau yurisprudensi atau dengan cara penafsiran hukum, harus diuraikan sejelas-jelasnya karena ini menjadi dasar atau dalil untuk berargumentasi.

  1. JENIS-JENIS TINDAK PIDANA

Di bawah ini akan disebut berbagai pembagian jenis delik :

  1. Kejahatan dan Pelanggaran

Pembagian delik atas kejahatan dan pelanggaran ini disebut oleh undang-undang. KUHP buku ke II memuat delik-delik yang disebut : pelanggaran criterium apakah yang dipergunakan untuk membedakan kedua jenis delik itu ? KUHP tidak memberi jawaban tentang hal ini. Ia hanya membrisir atau memasukkan dalam kelompok pertama kejahatan dan dalam kelompok kedua pelanggaran.

Tetapi ilmu pengetahuan mencari secara intensif ukuran (kriterium) untuk membedakan kedua jenis delik itu.

Ada dua pendapat :

  1. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwalitatif. Dengan ukuran ini lalu didapati 2 jenis delik, ialah :
  2. Rechtdelicten

Ialah yang perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak, jadi yang benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai bertentangan dengan keadilan misal : pembunuhan, pencurian. Delik-delik semacam ini disebut “kejahatan” (mala perse).

  1. Wetsdelicten

Ialah perbuatan yang oleh umum baru disadari sebagai tindak pidana karena undang-undang menyebutnya sebagai delik, jadi karena ada undang-undang mengancamnya dengan pidana. Misal : memarkir mobil di sebelah kanan jalan (mala quia prohibita). Delik-delik semacam ini disebut “pelanggaran”. Perbedaan secara kwalitatif ini tidak dapat diterima, sebab ada kejahatan yang baru disadari sebagai delik karena tercantum dalam undang-undang pidana, jadi sebenarnya tidak segera dirasakan sebagai bertentangan dengan rasa keadilan. Dan sebaliknya ada “pelanggaran”, yang benar-benar dirasakan bertentangan dengan rasa keadilan. Oleh karena perbedaan secara demikian itu tidak memuaskan maka dicari ukuran lain.

  1. Ada yang mengatakan bahwa antara kedua jenis delik itu ada perbedaan yang bersifat kwantitatif. Pendirian ini hanya meletakkan kriterium pada perbedaan yang dilihat dari segi kriminologi, ialah “pelanggaran” itu lebih ringan dari pada “kejahatan”.

Mengenai pembagian delik dalam kejahatan dan pelanggaran itu terdapat suara-suara yang menentang. Seminar Hukum Nasional 1963 tersebut di atas juga berpendapat, bahwa penggolongan-penggolongan dalam dua macam delik itu harus ditiadakan.

Kejahatan ringan :

Dalam KUHP juga terdapat delik yang digolongkan sebagai kejahatan-kejahatan misalnya pasal 364, 373, 375, 379, 382, 384, 352, 302 (1), 315, 407.

  1. Delik formil dan delik materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil)
  2. Delik formil itu adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada perbuatan yang dilarang. Delik tersebut telah selesai dengan dilakukannya perbuatan seperti tercantum dalam rumusan delik.    Misal : penghasutan (pasal 160 KUHP), di muka umum menyatakan perasaan kebencian, permusuhan atau penghinaan kepada salah satu atau lebih golongan rakyat di Indonesia (pasal 156 KUHP); penyuapan (pasal 209, 210 KUHP); sumpah palsu (pasal 242 KUHP); pemalsuan surat (pasal 263 KUHP); pencurian (pasal 362 KUHP).
  3. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititikberatkan kepada akibat yang tidak dikehendaki  (dilarang). Delik ini baru selesai apabila akibat yang tidak dikehendaki itu telah terjadi. Kalau belum maka paling banyak hanya ada percobaan. Misal : pembakaran (pasal 187 KUHP), penipuan (pasal 378 KUHP), pembunuhan (pasal 338 KUHP). Batas antara delik formil dan materiil tidak tajam misalnya pasal 362.
  1. Delik commisionis, delik ommisionis dan delik commisionis per ommisionen commissa
  2. Delik commisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan, ialah berbuat sesuatu yang dilarang, pencurian, penggelapan, penipuan.
  3. Delik ommisionis : delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah, ialah tidak melakukan sesuatu yang diperintahkan / yang diharuskan, misal : tidak menghadap sebagai saksi di muka pengadilan (pasal 522 KUHP), tidak menolong orang yang memerlukan pertolongan (pasal 531 KUHP).
  4. Delik commisionis per ommisionen commissa : delik yang berupa pelanggaan larangan (dus delik commissionis), akan tetapi dapa dilakukan dengan cara tidak berbuat. Misal : seorang ibu yang membunuh anaknya dengan tidak memberi air susu (pasal 338, 340 KUHP), seorang penjaga wissel yang menyebabkan kecelakaan kereta api dengan sengaja tidak memindahkan wissel (pasal 194 KUHP).
  1. Delik dolus dan delik culpa (doleuse en culpose delicten)
  2. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, misal : pasal-pasal 187, 197, 245, 263, 310, 338 KUHP
  3. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur misal : pasal 195, 197, 201, 203, 231 ayat 4 dan pasal 359, 360 KUHP.
  4. Delik tunggal dan delik berangkai (enkelvoudige en samenge-stelde delicten)
  5. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
  6. Delik berangkai : delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, misal : pasal 481 (penadahan sebagai kebiasaan)
  7. Delik yang berlangsung terus dan delik selesai (voordurende en aflopende delicten)

Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus, misal : merampas kemerdekaan seseorang (pasal 333 KUHP).

  1. Delik aduan dan delik laporan (klachtdelicten en niet klacht delicten)

Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan apabila ada pengaduan dari pihak yang terkena (gelaedeerde partij) misal : penghinaan (pasal 310 dst. jo 319 KUHP) perzinahan (pasal 284 KUHP), chantage (pemerasan dengan ancaman pencemaran, ps. 335 ayat 1 sub 2 KUHP jo. ayat 2). Delik aduan dibedakan menurut sifatnya, sebagai :

  1. Delik aduan yang absolut, ialah mis. : pasal 284, 310, 332. Delik-delik ini menurut sifatnya hanya dapat dituntut berdasarkan pengaduan.
  2. Delik aduan yang relative ialah mis. : pasal 367, disebut relatif karena dalam delik-delik ini ada hubungan istimewa antara si pembuat dan orang yang terkena.

Catatan : perlu dibedakan antara aduan den gugatan dan laporan. Gugatan dipakai dalam acara perdata, misal : A menggugat B di muka pengadilan, karena B tidak membayar hutangnya kepada A. Laporan hanya pemberitahuan belaka tentang adanya sesuatu tindak pidana kepada Polisi atau Jaksa.

  1. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya (eenvoudige dan gequalificeerde / geprevisilierde delicten)

Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut “geprivelegeerd delict”. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).

  1. Delik ekonomi (biasanya disebut tindak pidana ekonomi) dan bukan delik ekonomi

Apa yang disebut tindak pidana ekonomi itu terdapat dalam pasal 1 UU Darurat No. 7 tahun 1955, UU darurat tentang tindak pidana ekonomi.

  1. SUBYEK TINDAK PIDANA

Sebagaimana diuraika terdahulu, bahwa unsur pertama tindak pidana itu adalah perbuatan orang, pada dasarnya yang dapat melakukan tindak pidana itu manusia (naturlijke personen). Ini dapat disimpulkan berdasarkan hal-hal sebagai berikut :

  1. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata : “barang siapa yang …….”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada “orang”.
  2. Dalam pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan kepada tindak pidana, yaitu :
  3. pidana pokok :
  4. pidana mati
  5. pidana penjara
  6. pidana kurungan
  7. pidana denda, yang dapat diganti dengan pidana kurungan
  8. pidana tambahan :
  9. pencabutan hak-hak tertentu
  10. perampasan barang-barang tertentu
  11. dimumkannya keputusan hakim

Sifat dari pidana tersebut adalah sedemikian rupa, sehingga pada dasarnya hanya dapat dikenakan pada manusia.

  1. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat ada / tidaknya kesalahan pada terdakwa, memberi petunjuk bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.
  2. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan itu merupakan sikap dalam batin manusia.

Dalam perkembangannya apakah kecuali manusia tidak ada sesuatu yang dapat melakukan tindak pidana misalnya badan hukum ? dalam KUHP terdapat pasal yang seakan-akan menyinggung soal ini, ialah pasal 59. Pasal ini tidak menunjuk ke arah dapat dipidana suatu badan hukum, suatu perkumpulan atau badan (korporasi) lain. Menurut pasal ini yang dapat dipidana adalah orang yang melakukan sesuatu fungsi dalam sesuatu korporasi. Seorang anggota pengurus dapat membebaskan diri, apabila dapat membuktikan bahwa pelanggaran itu dilakukan tanpa ikut campurnya.

Keterangan : di dalam hukum acara, ini disebut “pembalikan beban pembuktian” (omkering van bewijslast).

Dalam KUHP juga ada pasal lain yang kelihatannya juga menyangkut korporasi sebagai subyek hukum, akan tetapi disinipun yang diancam pidana adalah orang, buka korporasinya. Vide pasal 169 : “ikut serta dalam perkumpulan yang terlarang”, dan juga pasal 398 dan 399, mengenai pengurus atau komisaris perseroan terbatas dan sebagainya yang dalam keadaan pailit merugikan perseroannya.

Bahwasanya yang menjadi subyek tindak pidana itu adalah manusia, sesuai dengan penjelasan (M.v.T) terhadap pasal 59 KUHP, yang berbunyi : “suatu tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia”. Akan tetapi ajaran ini sudah ditinggalkan. Dalam hukum positip Indonesia, misalnya dalam “ordonansi barang-barang yang diawasi” (S.1948-144) dan “Ordonansi pengendalian harga” (S.1948-295) terdapat ketentuan yang mengatur apabila suatu badan (hukum) melakuka tindak pidana yang disebut dalam ordonansi-ordonansi itu. Ordonansi obat bius S. 27-278 jo. 33-368 pasal 25 ayat 7. Atau dalam UU Darurat tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955 pasal 15 dimana dalam ayat 1 dan 2 dengan tegas menyebutkan bahwa badan hukum dapat menjadi subyek hukum pidana.

 

D E N Y, S.H

gambar logo3