SENGKETA TANAH

Sengketa-ilustrasi

Salah satu kegiatan dalam program strategis BPN RI lainnya adalah percepatan penyelesaian kasus pertanahan. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan, kasus pertanahan adalah sengketa, konflik dan perkara pertanahan yang disampaikan kepada Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia untuk mendapatkan penanganan, penyelesaian sesuai peraturan perundang-undangan dan/atau kebijakan pertanahan nasional.

SENGKETA PERTANAHAN

Sengketa pertanahan adalah perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, badan hukum atau lembaga yang tidak berdampak luas secara sosio-politis. Penekanan yang tidak berdampak luas inilah yang membedakan definisi sengketa pertanahan dengan definisi konflik pertanahan. Sengketa tanah dapat berupa sengketa administratif, sengketa perdata, sengketa pidana terkait dengan pemilikan, transaksi, pendaftaran, penjaminan, pemanfaatan, penguasaan dan sengketa hak ulayat.

KONFLIK PERTANAHAN

Konflik pertanahan merupakan perselisihan pertanahan antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas secara sosio-politis.

PERKARA PERTANAHAN

Perkara pertanahan adalah perselisihan pertanahan yang penyelesaiannya dilaksanakan oleh lembaga peradilan atau putusan lembaga peradilan yang masih dimintakan penanganan perselisihannya di BPN RI.

KRITERIA PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN

Kasus pertanahan yang terdapat dalam basis data BPN RI merupakan kasus-kasus lama maupun kasus-kasus baru yang timbul sebagai implikasi kasus-kasus lama. Setelah dilakukan identifikasi terhadap kasus-kasus tersebut, diperoleh informasi bahwa tipologi kasus kasus tersebut tidak dapat dilakukan generalisasi dalam melakukan upaya penanganan kasusnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam upaya penyelesaiannya dikategorikan dalam beberapa kriteria sebagai berikut:

  1. Kriteria 1 (K1) : penerbitan surat pemberitahuan penyelesaian kasus pertanahan dan pemberitahuan kepada semua pihak yang bersengketa.
  2. Kriteria 2 (K2) : penerbitan Surat Keputusan tentang pemberian hak atas tanah, pembatalan sertipikat hak atas tanah, pencatatan dalam buku tanah atau perbuatan hukum lainnya sesuai Surat Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan.
  3. Kriteria 3 (K3) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang ditindaklanjuti mediasi oleh BPN sampai pada kesepakatan berdamai atau kesepakatan yang lain disetujui oleh pihak yang bersengketa.
  4. Kriteria 4 (K4) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang intinya menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan akan melalui proses perkara di pengadilan.
  5. Kriteria 5 (K5) : Pemberitahuan Penyelesaian Kasus Pertanahan yang menyatakan bahwa penyelesaian kasus pertanahan yang telah ditangani bukan termasuk kewenangan BPN dan dipersilakan untuk diselesaikan melalui instansi lain.

SOLUSI PENYELESAIAN KASUS PERTANAHAN

Terhadap suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional, solusi penyelesaiannya dapat dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut:

  1. Pelayanan pengaduan dan Informasi Kasus
    • Pengaduan disampaikan melalui Loket pengaduan.
    • Dilakukan Register terhadap pengaduan yang diterima.
    • Penyampaian informasi, digolongkan menjadi :
      • Informasi rahasia : Perlu ijin Kepala BPN RI atau Pejabat yang ditunjuk.
      • Informasi Terbatas : Diberikan pada pihak yang memenuhi syarat.
      • Informasi Terbuka untuk umum : Diberikan pada pihak yang membutuhkan.
  2. Pengkajian Kasus
    • Untuk mengetahui faktor penyebab.
    • Menganalisis data yang ada.
    • Menyusun suatu rekomendasi penyelesaian kasus.
  3. Penanganan Kasus
    Penanganan suatu kasus pertanahan yang disampaikan atau diadukan dan ditangani oleh Badan Pertanahan Nasional RI dilakukan dengan tahapan :

    • Pengolahan data pengaduan, penelitian lapangan/koordinasi/investigasi.
    • Penyelenggaraan gelar kasus/penyiapan berita acara.
    • Analisis/Penyusunan Risalah Pengolahan Data/surat keputusan.
    • Monitoring dan evaluasi terhadap hasil penanganan kasus.

    Untuk suatu kasus pertanahan tertentu yang dianggap strategis, dilaksanakan pembentukan tim penanganan kasus potensi konflik strategis.

  4. Penyelesaian Kasus
    Penyelesaian suatu kasus pertanahan dikelompokkan menjadi 2 yaitu :

    • Penyelesaian melalui jalur hukum/pengadilan.
    • Penyelesaian melalui proses mediasi.

Terima Kasih.

DENY

081250106444

Sengketa Keluarga (Waris)

th (17)

Warisan adalah harta peninggalan dari orang yang sudah meninggal. Sedikit bikin pusing, banyak juga bikin pusing, jadi mending tinggalkan harta warisan yang cukup banyak ya, karena meninggalkan keluarga dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik, daripada dalam keadaan berkekurangan dan meminta kepada manusia.

Perihal warisan ini gampang-gampang rumit. Gampang jika semua ahli waris memahami ilmunya atau setidaknya mau tahu dan satu pendapat, mana yang akan digunakan. Rumit, jika para ahli waris tidak memahami ilmu warisan dan tidak mau belajar untuk tahu, atau dalam satu keluarga beda agama, mengingat pembagian warisan di Indonesia ada 3 hukum: KUH Perdata, adat dan hukum Islam.

Warisan, bukan hanya sekedar tentang harta peninggalan, tapi tentang kelangsungan hidup, hak anggota keluarga lain yang ditinggalkan: hidup anak istri, sekolah anak, biaya pernikahan anak, infaq, sedekah, wakaf yang harus berkelanjutan meski sudah meninggal (amal jariyah), kelangsungan bisnis, dll.

Penyelesaian sengketa tanah yang notabene merupakan warisan adalah mengacu pada aturan hukum waris yang ada di Indonesia, bukan mengacu pada penyelesaian sengketa secara perdata biasa, mengingat hukum waris memiliki aturannya tersendiri baik dalam hukum perdata barat, hukum Islam, maupun hukum Adat.

Penggunaan jenis hukum yang ada diserahkan kepada pihak-pihak yang bersengketa. Dalam penyelesaian sengketa waris yang ada di masyarakat, penyelesaian yang terbaik adalah dengan musyawarah di antara ahli waris. Namun, jika terjadi pembagian warisan yang tidak dapat diselesaikan dengan cara musyawarah, para ahli waris dapat mengajukan gugatan ke pengadilan sesuai dengan pilihan hukum seperti tersebut di atas.

Mengenai pengurusan tanah yang menjadi warisan, dalam Kompilasi Hukum Islam mengatur demikian:

Pasal 189
Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektare, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan.

Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing.

Pasal 188
Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada di antara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.

Sehingga sebagaimana diterangkan Pasal 188 Kompilasi Hukum Islam, bagi yang beragama Islam, dapat mengajukan permohonan fatwa waris dari hakim pengadilan agama yang menentukan besarnya bagian bagi ahli waris masing-masing melalui penetapan.

Sedangkan bagi non-Muslim, jika terjadi sengketa antara ahli waris mengenai jumlah bagian warisan maka para pihak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.

Dampaknya antara lain:

  1. Sengketa warisan. Gara-gara warisan, saudara bertikai, anak meneriaki ibunya, Ibu dituntut anak, Kakak adik bertikai, berkelahi, dipenjarakan pertumpahan darah. Iya, darah boleh saudara tapi, duit, harta tidak, bahkan bunuh membunuh. Sangat menyeramkan.
  2. Anak-anak terlunta-lunta saat orang tuanya berpulang, harta yang mereka tinggalkan ludes tanpa pemanfaatan dengan benar.
  3. Istri tidak bisa meneruskan bisnis yang ada, karena tidak punya pengetahuan, akhirnya berangsur-angsur habis, padahal kewajiban terhadap anak belum tuntas.
  4. Harta peninggalan, dihabiskan oleh wali yang harusnya hanya memanfaatkan untuk pemeliharaan si anak.
  5. Rumitnya penghitungan karena telatnya pembagian, hingga generasi ke genarasi, misalnya dari sejak kakeknya kakek belum dibagi, maka perlu penghitungan bertahap, hingga ke generasi sekarang, dan lain-lain.

Solusinya sebenarnya sangat sederhana, membuat perencanaaan waris atau yang biasa disebut dengan Estate Planning atau berwasiat, yang dilegalisasi oleh pihak berwenang, setidaknya tentang:

  1. Perwalian pemeliharaan anak.
  2. Pihak yang dipercaya mengurus harta/bisnis.
  3. Pelaksana wasiat, minimal sampai anak-anak dewasa secara hukum.
  4. Siapa yang dipercaya meng-handle bisnis, hingga anak-anak dewasa, dan lain sebagainya.

Dalam hal bingung dan untuk menghindari sengketa pembagian warisan, Anda dapat mengajukan ke Pengadilan untuk mendapatan “surat ketetapan” waris. Bagi yang beragama islam masalah warisan ditangani oleh peradilan agama, dan bagi yang bukan beragama Islam, ditangani peradilan umum.

MEKANISME PENANGANAN PELANGGARAN DAN PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU

mahkamah-konstitusi
PENANGANAN PELANGGARAN
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan dan Pengawas Pemilu Luar Negeri menerima laporan pelanggaran Pemilu pada setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.
Vide Pasal 249 ayat (1) UU Nomor 8 Th 2012
PENANGANAN PELANGGARAN
Vide Pasal 249 ayat (2) UU Nomor 8 Tahun 2012
PROSES PELAPORAN PELANGGARAN PEMILU LEGISLATIF
Pelanggaran Administrasi Pemilu adalah pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar Tindak Pidana Pemilu dan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu.
KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
PENANGANAN TINDAK PIDANA PEMILU
Tindak Pidana Pemilu adalah Tindak Pidana Pelanggaran dan/atau Kejahatan Terhadap Ketentuan Tindak Pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Vide Pasal 260 UU No 8 Tahun 2012
Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilihan Umum adalah Pelanggaran terhadap etika Penyelenggara Pemilu yang berpedomankan sumpah dan/atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai penyelenggara Pemilu.
Pelanggaran Kode EtikDEWAN KEHORMATAN PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM
SENGKETA PEMILU
“Sengketa yang terjadi antarpeserta Pemilu dan sengketa peserta Pemilu dengan Penyelenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.”
Prinsip
Penyelesaian Sengketa
Penyelesaian Sengketa mengedepankan prinsip Musyawarah dan tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundangan.
Sengketa yang mengandung unsur pidana tidak boleh diselesaikan oleh Pengawas Pemilu
Sengketa yang diselesaikan oleh Pengawas Pemilu bukanlah sengketa hasil yang diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi dan bukan ranah pengujian peraturan perundang-undangan
Undang-Undang No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu
Pasal 73 ayat (4) huruf c, dalam melaksanakan tugasnya, Bawaslu berwenang untuk menyelesaikan Sengketa Pemilu.
Pasal 73 ayat (5), Tata cara dan mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilu dan Sengketa Pemilu diatur dalam Undang-Undang yang mengatur Pemilu
Pasal 77 ayat (1) huruf c, Tugas dan Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota salah satunya adalah menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilu yang tidak mengandung unsur tindak pidana.
Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif
Pasal 250 ayat (1) huruf c, Laporan Pelanggaran Pemilu yang berupa sengketa Pemilu diselesaikan oleh Bawaslu.
Pasal 258 ayat (1), “Bawaslu berwenang menyelesaikan sengketa Pemilu”
Pasal 258 ayat (2), “Bawaslu dalam melaksanakan kewenangannya dapat mendelegasikan kepada Bawaslu Provinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan, Pengawas Pemilu Luar Negeri”
Ruang Lingkup dan Wewenang
Sengketa penyelenggaraan Pemilu terdiri dari:
  a. Sengketa Pemilu;
  b. Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu; atau
  c. Sengketa Proses Penyelenggaraan Pemilu.
Bawaslu berwenang menyelesaikan Sengketa Pemilu dan dapat mendelegasikan kepada Bawaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota.
Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu merupakan kewenangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, setelah seluruh upaya administratif di Bawaslu telah digunakan.
Pengawas Pemilu menyelesaikan Sengketa Proses Penyelenggaraan Pemilu.
BAGAN RUANG LINGKUP DAN WEWENANG
Sengketa Pemilu
Sengketa Pemilu timbul karena adanya:
a. Perbedaan penafsiran antar peserta Pemilu atau suatu ketidakjelasan tertentu yang berkaitan dengan suatu masalah fakta kegiatan, peristiwa, dan/atau ketentuan akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota;
b. Keadaan dimana pengakuan atau pendapat dari salah satu peserta Pemilu mendapatkan penolakan, pengakuan yang berbeda, dan/atau penghindaran dari peserta pemilu yang lain akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU
Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu timbul karena adanya:
a.  Sengketa  antara Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi dengan KPU sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu (Pasal 17 UU Nomor 8 Tahun 2012);
b.  Sengketa antara calon anggota DPR dan DPD yang dicoret dari daftar calon tetap dengan KPU sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap (Pasal 65 dan Pasal 75 UU Nomor 8 Tahun 2012); atau
c.  Sengketa antara calon anggota DPRD provinsi dan  DPRD kabupaten/kota yang dicoret dari daftar calon tetap dengan KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan daftar calon tetap (Pasal 75 UU Nomor 8 Tahun 2012).
Pengajuan Penyelesaian Sengketa Pemilu dan Sengketa TUN Pemilu
Permohonan Langsung Penyelesaian Sengketa Pemilu dan Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu diajukan paling lama 3 (tiga) hari kerja sejak dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
Permohonan penyelesaian Sengketa TUN Pemilu terkait dengan keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota yang mencoret calon Anggota DPR, DPD, dan DPRD dari daftar calon tetap, diajukan setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan yang bersangkutan tidak terbukti.
JANGKA WAKTU PENYELESAIAN SENGKETA
Pengawas Pemilu menyelesaikan sengketa 12 (dua belas) hari sejak sengketa dilaporkan atau ditemukan
OBJEK SENGKETA TUN PEMILU
    Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu dilakukan terhadap:
sengketa peserta pemilu dengan Penyelenggara Pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; dan
vsengketa antar peserta pemilu akibat dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota.
PEMOHON PENYELESAIAN SENGKETA TERMOHON
KPU Republik Indonesia,
KPU/KIP Provinsi, dan
KPU/KIP Kabupaten/Kota
SYARAT PERMOHONAN
Permohonan ditulis dalam bahasa Indonesia dan harus memuat:
olembaga yang dituju untuk menyelesaikan sengketa:
1.Bawaslu untuk penyelesaian sengketa tata usaha negara Pemilu;
2.Bawaslu/Bawaslu Provinsi/Panwaslu Kabupaten/Kota untuk penyelesaian sengketa Pemilu :
* Identitas pemohon
* Identitas termohon
* Uraian yang jelas tentang :
-. Kewenangan menyelesaikan sengketa;
-. Kepentingan langsung pemohon atas penyelesaian sengketa;
-. Masalah/obyek sengketa; dan
-. Hal-hal yang diminta untuk diputuskan
SENGKETA PROSES PEMILU
Sengketa proses penyelenggaraan Pemilu timbul karena adanya:
a. Perbedaan penafsiran atau suatu ketidakjelasan tertentu yang berkaitan dengan suatu masalah fakta kegiatan, peristiwa, dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai Pemilu antar peserta Pemilu; atau
b. Keadaan dimana pengakuan atau pendapat dari salah satu peserta Pemilu mendapatkan penolakan, pengakuan yang berbeda, dan/atau penghindaran dari peserta Pemilu yang lain.
ALUR PENYELESAIAN SENGKETA PEMILU
SELESAI DAN GUGURNYA SENGKETA PEMILU
1. Sengketa Pemilu  Dinyatakan Selesai Oleh Pengawas Pemilu apabila:
a). Telah tercapainyaa musyawarah dan mufakat; dan
b). Pengawas Pemilu telah membuat keputusan yang bersifat final dan mengikat.
2.  Permohonan penyelesaian sengketa Pemilu Dinyatakan Gugur apabila:
a). Pemohon dan/atau Termohon meninggal dunia;
b).Pemohon atau kuasanya tidak datang dan hadir dalam pertemuan pertama setelah 3 (tiga) kali dilakukan pemanggilan secara patut dan sah oleh Pengawas Pemilu;
c). Termohon telah memenuhi tuntutan Pemohon sebelum dilaksanakannya proses penyelesaian sengketa Pemilu; dan
d). Pemohon mencabut permohonannya..
KOMPETENSI PENGAWAS
Penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan locus delicti atau tempat terjadinya pelanggaran yang dilaporkan.
Dalam hal Pengawas Pemilu tidak dapat menyelesaikan sengketa Pemilu, maka penyelesaian sengketa dapat diambil alih oleh pengawas pemilu setingkat di atasnya.
FASILITATOR SENGKETA PROSES
Penyelesaian sengketa proses penyelenggaraan Pemilu yang dilakukan oleh anggota Pengawas Pemilu dapatmeminta bantuan pihak lain untuk menjadi fasilitator  dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Ketua PengawasPemilu
Syarat Fasilitator Sengketa Proses Pemilu
a. Tokoh masyarakat, akademisi, atau tokoh agama yang berpengaruh;
b. Memiliki pengetahuan dan pemahaman kepemiluan;
c. Memiliki pengalaman dalam penyelesaian sengketa;
d. Nonpartisan dan imparsial;
e. Tidak memiliki konflik kepentingan dengan para pihak bersengketa;
f. Profesional; dan
g. Dapat diterima oleh para pihak yang bersengketa.

Sengketa Penyelenggara Pemilu

news_161_1423763260

A. Ancaman Pelanggaran Terhadap Proses Demokratisasi
Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya Pemilu yang bebas sebagai perwujudan nyata kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenyataan menunjukkan bahwa membumikan ide yang mulia tersebut tidaklah semudah mengucapkannya.

Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final.

Selain itu, sengketa mengenai hasil perolehan suara dalam Pilkada Maluku Utara telah menyeret KPU ke dalam sengketa kewenangan. KPU bersengketa dengan KPU Propinsi Malut dan berlanjut dengan Pemerintah – dalam hal ini Departemen Dalam Negeri. Beberapa pelanggaran tersebut muncul karena peraturan perundang-undangan yang ada masih belum lengkap, multi tafsir, bahkan ada yang tidak sinkron.

Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.

Tersedianya aturan yang konkrit dan implementatif penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.

B. Pelanggaran Pemilu 2009

Terjadinya pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu 2009 sudah tidak terhindarkan. Pelanggaran dapat terjadi karena adanya unsur kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak pihak bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pelanggaran pemilu. Sebagai upaya antisipasi, UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu) mengaturnya pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain:

1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;

2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;

3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;

4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;

5. Pemantau dalam negeri maupun asing;

6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.

Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar UU Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:

(1) pelanggaran administrasi pemilu;

(2) pelanggaran pidana pemilu; dan

(3) perselisihan hasil pemilu.

(1) Pelanggaran Administrasi Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.

(2) Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.

(3) Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi di MK. Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003).

Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat.

Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.

Contoh KASUS yang telah nyata ada adalah :

1) sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu.

2) sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

C. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran

Meski jenis pelanggaran bermacam-macam, tetapi tata cara penyelesaian yang diatur dalam UU hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam UU MK.

Batas Waktu Penanganan Pelanggaran Pemilu

1. Mekanisme Pelaporan Penyelesaian pelanggaran pemilu diatur dalam UU Pemilu BAB XX. Secara umum, pelanggaran diselesaikan melalui Bawaslu dan Panwaslu sesuai dengan tingkatannya sebagai lembaga yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap setiap tahapan pelaksanaan pemilu. Dalam proses pengawasan tersebut, Bawaslu dapat menerima laporan, melakukan kajian atas laporan dan temuan adanya dugaan pelanggaran, dan meneruskan temuan dan laporan dimaksud kepada institusi yang berwenang. Selain berdasarkan temuan Bawaslu, pelanggaran dapat dilaporkan oleh anggota masyarakat yang mempunyai hak pilih, pemantau pemilu dan peserta pemilu kepada Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota paling lambat 3 hari sejak terjadinya pelanggaran pemilu.

Bawaslu memiliki waktu selama 3 hari untuk melakukan kajian atas laporan atau temuan terjadinya pelanggaran. Apabila Bawaslu menganggap laporan belum cukup lengkap dan memerlukan informasi tambahan, maka Bawaslu dapat meminta keterangan kepada pelapor dengan perpanjangan waktu selama 5 hari.

Berdasarkan kajian tersebut, Bawaslu dapat mengambil kesimpulan apakah temuan dan laporan merupakan tindak pelanggaran pemilu atau bukan.

Dalam hal laporan atau temuan tersebut dianggap sebagai pelanggaran, maka Bawaslu membedakannya menjadi:

a. pelanggaran pemilu yang bersifat administratif ; dan

b. pelanggaran yang mengandung unsur pidana.

Bawaslu meneruskan hasil kajian tersebut kepada instansi yang berwenang untuk diselesaikan. Aturan mengenai tata cara pelaporan pelanggaran pemilu diatur dalam ketentuan pasal 247 UU 10/2008 yang diperkuat dalam Peraturan Bawaslu No.05 /2008.

2. Mekanisme penyelesaian pelanggaran administrasi Pelanggaran pemilu yang bersifat administrasi menjadi kewenangan KPU untuk menyelesaikannya. UU membatasi waktu bagi KPU untuk menyelesaikan pelanggaran administrasi tersebut dalam waktu 7 hari sejak diterimanya dugaan laporan pelanggaran dari Bawaslu. Sesuai dengan sifatnya, maka sanksi terhadap pelanggaran administrasi hendaknya berupa sanksi administrasi. Sanksi tersebut dapat berbentuk teguran, pembatalan kegiatan, penonaktifan dan pemberhentian bagi pelaksana pemilu.

Aturan lebih lanjut tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi dibuat dalam peraturan KPU. Peraturan KPU mengenai hal tersebut sampai saat ini belum ada. Meski kewenangan menyelesaikan pelanggaran administrasi menjadi domain KPU, KPU Propinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagaimana diatur dalam ketentuan UU Pemilu pasal 248-251, tetapi UU Pemilu juga memberikan tugas dan wewenang kepada Panwaslu Kabupaten/Kota, Panwaslu Propinsi dan Bawaslu untuk menyelesaikan temuan dan laporan pelanggaran terhadap ketentuan kampanye yang tidak mengandung unsur pidana (lihat UU 10/2008 pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2).

Terhadap pelanggaran yang menyangkut masalah perilaku yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu seperti anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, maka Peraturan KPU tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu dapat diberlakukan. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten/Kota, dan jajaran sekretariatnya, yang terikat dengan Kode Etik Pengawas Pemilu.

3. Mekanisme Penyelesaian Pelanggaran Pidana Pemilu.

3.1. Proses Penyidikan. Sebenarnya penanganan tindak pidana pemilu tidak berbeda dengan penanganan tindak pidana pada umumnya yaitu melalui kepolisian kepada kejaksaan dan bermuara di pengadilan. Secara umum perbuatan tindak pidana yang diatur dalam UU Pemilu juga terdapat dalam KUHP. Tata cara penyelesaian juga mengacu kepada KUHAP. Dengan asas lex specialist derogat lex generali maka aturan dalam UU Pemilu lebih utama. Apabila terdapat aturan yang sama maka ketentuan yang diatur KUHP dan KUHAP menjadi tidak berlaku.

Mengacu kepada pasal 247 angka (9) UU Pemilu, temuan dan laporan tentang dugaan pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana, setelah dilakukan kajian dan didukung dengan data permulaan yang cukup, diteruskan oleh Bawaslu kepada penyidik Kepolisian. Proses penyidikan dilakukan oleh penyidik polri dalam jangka waktu selama-lamanya 14 hari terhitung sejak diterimanya laporan dari Bawaslu. Kepolisian mengartikan 14 hari tersebut termasuk hari libur. Hal ini mengacu kepada KUHAP yang mengartikan hari adalah 1 x 24 jam dan 1 bulan adalah 30 hari.

Guna mengatasi kendala waktu dan kesulitan penanganan pada hari libur, pihak kepolisian telah membentuk tim kerja yang akan menangani tindak pidana pemilu. Setiap tim beranggotakan antara 4-5 orang. TIM PENYIDIK TINDAK PIDANA PEMILU POLRI BARESKRIM: 7 TIM (4 Dalam Negeri + 3 Luar Negeri), POLDA: 5 TIM, POLWIL: 3 TIM, POLRES: 10 TIM.

Dengan adanya tim kerja tersebut maka penyidikan akan dilakukan bersama-sama. Setelah menerima laporan pelanggaran dari Bawaslu, penyidik segera melakukan penelitian terhadap:

a. Kelengkapan administrasi laporan yang meliputi : keabsahan laporan (format, stempel, tanggal, penomoran, penanda tangan, cap/stempel), kompetensi Bawaslu terhadap jenis pelanggaran, dan kejelasan penulisan; dan

b. Materi/laporan yang antara lain : kejelasan indentitas (nama dan alamat) pelapor, saksi dan tersangka, tempat kejadian perkara, uraian kejadian/pelanggaran, waktu laporan.

Berdasarkan indentitas tersebut, penyidik melakukan pemanggilan terhadap saksi dalam waktu 3 hari dengan kemungkinan untuk memeriksa saksi sebelum 3 hari tersebut yang dapat dilakukan di tempat tinggal saksi. 14 hari sejak diterimanya lapaoran dari Bawaslu, pihak penyidik harus menyampaikan hasil penyidikan beserta berkas perkara kepada penuntut umum (PU).

3.2. Proses Penuntutan. UU Pemilu tidak mengatur secara khusus tentang penuntut umum dalam penanganan pidana pemilu. Melalui Surat Keputusan (September 2008) Jaksa Agung telah menunjuk jaksa khusus pemilu di seluruh Indonesia (31 Kejaksaan Tinggi, 272 kejaksaan Negeri, dan 91 Cabang Kejaksaan Negeri). Masing-masing Kejaksaan Negeri dan Cabang Kejaksaan Negeri ditugaskan 2 orang jaksa khusus untuk menangani pidana pemilu tanpa menangani kasus lain di luar pidana pemilu.

Di tingkat Kejaksaan Agung ditugaskan 12 orang jaksa yang dipimpin Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) untuk menangani perkara pemilu di pusat dan Luar Negeri. Penugasan ini dituangkan dalam Keputusan Jaksa Agung No. 125/2008.

Jika hasil penyidikan dianggap belum lengkap, maka dalam waktu paling lama 3 hari penuntut umum mengembalikan berkas perkara kepada penyidik kepolisian disertai dengan petunjuk untuk melengkapi berkas bersangkutan. Perbaikan berkas oleh penyidik maksimal 3 hari untuk kemudian dikembalikan kepada PU. Maksimal 5 hari sejak berkas diterima, PU melimpahkan berkas perkara kepada pengadilan. Karena sejak awal penanganan kasus di kepolisian pihak kejaksaan sudah dilibatkan untuk mengawal proses penyidikan maka duduk perkara sudah dapat diketahui sejak Bawaslu melimpahkan perkara ke penyidik.

Dengan demikian maka PU dapat mempersiapkan rencana awal penuntutan/matrik yang memuat unsur-unsur tindak pidana dan fakta-fakta perbuatan. Pada saat tersangka dan barang bukti dikirim/diterima dari kepolisian maka surat dakwaan sudah dapat disusun pada hari itu juga. Karena itu masalah limitasi waktu tidak menjadi kendala. Untuk memudahkan proses pemeriksaan terhadap adanya dugaan pelanggaran pidana pemilu, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah membuat kesepahaman bersama dan telah membentuk sentra penegakan hukum terpadu (Gakumdu). Adanya Gakumdu memungkinkan pemeriksaan perkara pendahuluan melalui gelar perkara.

3.3. Proses Persidangan. Tindak lanjut dari penanganan dugaan pelanggaran pidana pemilu oleh Kejaksaan adalah pengadilan dalam yuridiksi peradilan umum. Mengingat bahwa pemilu berjalan cepat, maka proses penanganan pelanggaran menggunakan proses perkara yang cepat (speed trial).

Hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana pemilu menggunakan KUHAP sebagai pedoman beracara kecuali yang diatur secara berbeda dalam UU Pemilu. Perbedaan tersebut terutama menyangkut masalah waktu yang lebih singkat dan upaya hukum yang hanya sampai banding di Pengadilan Tinggi.

Tujuh hari sejak berkas perkara diterima Pengadilan Negeri memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana pemilu. Batasan waktu ini akan berimbas kepada beberapa prosedur yang harus dilalui seperti pemanggilan saksi dan pemeriksaan khususnya di daerah yang secara geografis banyak kendala. Untuk itu maka UU memerintahkan agar penanganan pidana pemilu di pengadilan ditangani oleh hakim khusus yang diatur lebih lanjut melalui Peraturan MA (Perma).

PERMA No. 03/2008 menegaskan bahwa Hakim khusus sebagaimana dimaksud berjumlah antara 3 – 5 orang hakim dengan kriteria telah bekerja selama 3 tahun. MA juga telah mengeluarkan Surat Edaran No. 07/A/2008 yang memerintahkan kepada Pengadilan Tinggi untuk segera mempersiapkan/menunjuk hakim khusus yang menangani tindak pidana pemilu.

Dalam hal terjadi penolakan terhadap putusan PN tersebut, para pihak memiliki kesempatan untuk melakukan banding ke Pengadilan Tinggi. Permohonan banding terhadap putusan tersebut diajukan paling lama 3 hari setelah putusan dibacakan.PN melimpahkan berkas perkara permohonan banding kepada PT paling lama 3 hari sejak permohonan banding diterima.

PT memiliki kesempatan untuk memeriksa dan memutus permohonan banding sebagaimana dimaksud paling lama 7 (tujuh) hari setelah permohonan banding diterima. Putusan banding tersebut merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum lain.

3.4. Proses Pelaksanaan Putusan. Tiga hari setelah putusan pengadilan dibacakan, PN/PT harus telah menyampaikan putusan tersebut kepada PU. Putusan sebagaimana dimaksud harus dilaksanakan paling lambat 3 hari setelah putusan diterima jaksa. Jika perkara pelanggaran pidana pemilu menurut UU Pemilu dipandang dapat mempengaruhi perolehan suara peserta pemilu maka putusan pengadilan atas perkara tersebut harus sudah selesai paling lama 5 hari sebelum KPU menetapkan hasil pemilu secara nasional.

Khusus terhadap putusan yang berpengaruh terhadap perolehan suara ini, KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan peserta harus sudah menerima salinan putusan pengadilan pada hari putusan dibacakan. KPU berkewajiban untuk menindaklanjuti putusan sebagaimana dimaksud. Demikian pengecualian hukum beracara untuk menyelesaikan tindak pidana pemilu menurut UU 10/2008 yang diatur berbeda dengan KUHAP. Sesuai dengan sifatnya yang cepat, maka proses penyelesaian pelanggaran pidana pemilu paling lama 53 hari sejak terjadinya pelanggaran sampai dengan pelaksanaan putusan oleh jaksa.

Pengaturan ini jauh lebih cepat jika dibandingkan dengan UU 12/2003 yang memakan waktu 121 hari.

4. Perselisihan Hasil Perolehan Suara

Sesuai dengan Konstitusi yang dijabarkan dalam ketentuan UU 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi, perselisahan tentang hasil perolehan suara pemilu diselesaikan melalui MK.

Tata cara penyelesaian perselisihan perolehan hasil suara pemilu 2009 telah diatur dalam PMK No. 14/2008 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. Permohonan diajukan oleh peserta pemilu paling lambat 3 x 24 jam sejak KPU mengumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Pengajuan permohonan disertai dengan alat bukti pendukung seperti sertifikat hasil penghitungan suara, sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan setiap jenjang, berita acara penghitungan beserta berkas pernyataan keberatan peserta, serta dokumen tertulis lainnya. Apabila kelengkapan dan syarat permohonan dianggap tidak cukup, panitera MK memberitahukan kepada pemohon untuk diperbaiki dalam tenggat 1 x 24 jam. Apabila dalam waktu tersebut perbaikan kelengkapan dan syarat tidak dilakukan, maka permohonan tidak dapat diregistrasi. Tiga hari kerja sejak permohonan tercatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi panitera mengirimkan permohonan kepada KPU. Dalam permohonan tersebut disertakan juga permintaan keterangan tertulis KPU yang dilengkapi dengan bukti-bukti hasil penghitungan suara yang diperselisihkan. Keterangan tertulis tersebut haraus sudah diterima MK paling lambat 1 hari sebelum hari persidangan. Mahkamah menetapkan hari sidang pertama dala mwaktu 7 hari kerja sejak permohonan diregistrasi. Penetapan hari sidang pertama diberitahukan kepada pemohon dan KPU paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan.

Pemeriksaan permohonan dibagi menjadi :

1) pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Panel Hakim yang terdiri atas 3 orang hakim konstitusi wajib memberi nasihat kepada pemohon untuk melengkapi dan/atau memperbaiki permohonan apabila terdapat kekurangan paling lambat 1 x 24 jam.

2) pemeriksaan persidangan yang dilakukan untuk memeriksa kewenangan MK, kedudukan pemohon, pokok permohonan, keterangan KPU dan alat bukti oleh Panel Hakim dan/atau Pleno Hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum. Putusan MK dijatuhkan paling lambat 30 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi. Putusan MK bersifat final dan selanjtunya disampaikan kepada pemohon, KPU dan Presiden serta dapat disampaikan kepada pihak terkait. KPU, KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti Putusan tersebut.

D. Beberapa Permasalahan

a) Waktu Terjadinya Pelanggaran.

Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempus delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum.

Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.

b. Penanganan Laporan.

Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.

c). Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi.

Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan.

Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.

d) Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi.

Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana.

Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.

e) Pengertian ”hari”.

UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).

f) Tindakan terhadap TNI.

UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.

g) Gakkumdu.

Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.

h) Banding.

Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.

i) Jumlah aparat.

Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.

j) Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan.

KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas).

Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan.

Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan.

k) Pelaksanaan Putusan.

UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?

l) Sengketa Putusan KPU.

UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

Alternatif Penyelesaian Sengketa Pemilu

Alternatif (I): Gugatan, permintaan pihak yang merasa dirugikan kepada PTUN untuk membatalkan suatu Keputusan.

Alternatif (II): Konsiliasi, mempertemukan pihak-pihak yg bersengketa untuk mencapai suatu kesepakatan.

Alternatif (III): Mediasi, memberi tawaran alternatif kepada pihak-pihak yang bersengketa tetapi tidak mengikat.

Alternatif (IV): Arbitrase, pembuatan satu keputusan untuk menyelesaikan persengketaan yang harus dipatuhi oleh pihak-pihak yang bersengketa.

E. Rekomendasi

Secara umum UU Pemilu telah memberikan pedoman untuk menyelesaikan pelanggaran yang terjadi. Pengaturan penyelesaian pelanggaran pemilu dengan batasan waktu yang singkat bertujuan untuk mendorong penyelesaian kasus yang disesuaikan dengan tahapan pelaksanaan pemilu sehingga ada jaminan bahwa pemilu diselenggarakan secara bersih. Persoalannya beberapa ketentuan tidak cukup mampu untuk menindak terjadinya pelanggaran pemilu apalagi mencegahnya. Hal ini karena ketentuan UU Pemilu belum lengkap, multitafsir dan beberapa diantaranya kontradiksi.

Upaya mengatasi permasalahan tersebut dapat dilakukan melalui pembuatan peraturan tertentu sebagaimana diamanatkan UU Pemilu, kesepakatan bersama antara KPU – Bawaslu dan lembaga penegak hukum mengenai tata cara penanganan pelanggaran, serta meningkatkan kapasitas aparat di masing-masing lembaga mengenai aturan perundang-undangan pemilu. Penanganan pelanggaran secara jujur dan adil merupakan bukti adanya perlindungan kedaulatan rakyat dari tindakan-tindakan yang dapat mencederai proses dan hasil pemilu. Adalah kewajiban bagi pengawas, penyelenggara dan aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa semua pelanggaran pemilu yang terjadi dapat diselesaikan secara adil dan konsisten.

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) & Permasalahan Hukumnya

th (16)

Tingginya angkatan kerja produktif, ditambah persaingan ketat di era globalisasi sedikit banyaknya telah menciptakan dampak yang sangat besar bagi perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Dimana secara umum akan menumbuh kembangkan tingkat kemiskinan dan juga ketidakmerataan masalah distribusi pendapatan yang timbul diakibatkan kesempatan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang tidak merata di wilayah pedesaan dan perkotaan. Kondisi terjadinya ketimpangan ini secara jelas terlihat dalam laju pertumbuhan angkatan kerja yang jauh lebih besar jumlahnya bila dibandingkan dengan kemampuan penyerapan para pencari kerja (tenaga kerja). Disamping itu, pada kondisi tertentu sebahagian besar lapangan kerja yang tersedia di perusahaan pada tingkat organisasi yang rendah (sektor non formal), sama sekali tidak membutuhkan keterampilan khusus, dan juga lebih banyak memberi peluang kerja bagi tenaga kerja khusus wanita.

Diakibatkan faktor kemiskinan, dan juga tuntutan ekonomi yang mendesak, serta ditimbulkan oleh berkurangnya peluang serta penghasilan di sektor bidang pertanian yang cenderung tidak memberikan sesuatu hasil yang rutin dan tepat, dibarengi adanya peluang kesempatan untuk bekerja di bidang industri telah memberikan daya tarik tersendiri bagi para angkatan pencari kerja untuk menggelutinya. Bahkan banyak wanita (perempuan) Indonesia yang mengambil 1 (satu) keputusan dan tekad bulat untuk bekerja ke luar negeri dengan tawaran gaji yang relatif lebih besar, meskipun dengan resiko meninggalkan keluarga, suami dan juga anak.

Terjadinya fenomena untuk bekerja ke luar negeri dan atau menjadi “pahlawan devisa” ini, tentu saja dapat memberikan keuntungan finansial, namun juga akan menimbulkan masalah tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Karena, dengan adanya tenaga kerja yang akan bekerja di luar negeri, sudah barang tentu akan memberikan peningkatkan devisa bagi negara. Namun, sebagaimana yang kita ketahui bersama, bahwa tidak sedikit kasus kekerasan dan pelecehan yang terjadi menimpa para tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri.

Pada umumya permasalahan yang lazim terjadi adalah menyangkut tentang pengiriman TKI ke luar negeri, khususnya tentang ketidaksesuaian antara yang diperjanjikan dengan kenyataan ditempat bekerja, serta adanya kesewenangan pihak majikan dalam memperkerjakan dan atau memperlakukan TKI tersebut. Selain itu, permasalahan lain yang sering terjadi adalah seputar adanya penangkapan dan penghukuman TKI yang dikarenakan ketidaklengkapan surat/dokumen kerja (TKI ilegal). Tentu saja, hal ini akan menimbulkan ketegangan antara antara pihak pemerintah Indonesia dengan negara-negara tempat tujuan TKI tersebut dipekerjakan, dan apabila didiamkan sedikit banyaknya akan menimbulkan terganggunya hubungan bilateral kedua negara yang telah terjalin baik selama ini.

Disamping permasalahan diatas, timbulnya masalah juga berasal dari para TKI itu sendiri dan juga para perusahaan jasa yang mengirimkan mereka. Mengapa kami mengatakannya demikian, hal ini disebabkan kurangnya kesadaran dari para TKI bahwa menjadi TKI ilegal tidak akan memiliki perlindungan hukum. Nah, permasalahan inilah yang menyebabkan banyaknya terjadi tindak kejahatan yang menimpah diri TKI seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), penganiayaan, pelecehan seksual (dan juga pemerkosaan), dan pemotongan gaji oleh majikan. Meskipun demikian, pemerintah tetap berkewajiban melindungi para TKI dari permasalahan-permasalahan yang timbul tersebut, seperti yang secara tegas diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan kepada TKI di luar negeri sebelum keberangkatan sampai pulang kembali ke Indonesia.

Arti dan Definisi Tenaga Kerja Indonesia

Di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU No.39/2004) ada dijelaskan arti atau definisi dari Tenaga Kerja Indonesia, yakni bahwa “Tenaga Kerja Indonesia yang selanjutnya disebut dengan TKI adalah setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah”.

Dari penjelasan dan uraian pasal tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa TKI merupakan tenaga kerja Indonesia yang berada di luar negeri atau ditempatkan di luar negeri untuk suatu pekerjaan tertentu. Selanjutnya di dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU No. 39/2004 tersebut menyebutkan bahwa “Penempatan TKI adalah kegiatan pelayanan untuk mempertemukan TKI sesuai bakat, minat, dan kemampuannya dengan pemberi kerja di luar negeri yang meliputi keseluruhan proses perekrutan, pengurus dokumen, pendidikan dan pelatihan, penampungan, persiapan pemberangkatan, pemberangkatan sampai ke negara tujuan, dan pemulangan dari negara tujuan”. Dengan demikian dari uraian pasal 1 ayat (3) di atas, dapat kita ketahui bahwasanya TKI yang ditempatkan di luar negeri untuk melakukan suatu pekerjaan hanya dilaksanakan oleh Pemerintah dan atau hanya pelaksana penempatan TKI swasta saja yang dapat melakukannya, karena berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU No.39/2004 dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa “perseorangan tidak diperkenankan untuk melakukan penempatan TKI di luar negeri”.

Berkaitan dengan hal tersebut, pemerintah dalam melaksanakan penempatan TKI di luar negeri, harus membuat perjanjian secara tertulis antara pemerintah dengan pemerintah Negara tujuan atau pengguna TKI di Negara tujuan. Sehingga, penempatan TKI di luar negeri hanya dapat dilakukan ke Negara tujuan yang pemerintahnya telah membuat perjanjian tertulis dengan Pemerintah Republik Indonesia. Sementara untuk pelaksana penempatan TKI swasta harus mendapatkan izin tertulis berupa Surat Izin Pelaksana Penempatan TKI (SIPPTKI) dari Menteri yang terkait.

Faktor Tingginya TKI ke Luar Negeri

Di atas kami telah menyinggung, bahwa salah satu faktor penyebabnya tingginya niat tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di luar negeri adalah disebabkan faktor ekonomi. Disamping, tidak adanya akses untuk mendapatkan peluang-peluang bekerja di dalam negeri. Terjadinya 2 (dua) faktor ini disebabkan oleh:

  • Faktor yang berasal dalam diri seseorang, misalnya: rendahnya kualitas sumber daya manusia karena tingkat pendidikan (keterampilan) atau kesehatan rendah atau ada hambatan budaya (budaya kemiskinan);
  • Faktor yang berasal dari luar kemampuan seseorang, dimana hal ini terjadi karena adanya birokrasi dan/atau ada peraturan-peraturan resmi (kebijakan), sehingga sedikit banyaknya dapat membatasi atau memperkecil peluang seseorang untuk memanfaatkan kesempatan dan peluang yang tersedia;

Kelompok Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri

Secara umum, TKI yang bekerja di luar negeri dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: TKI legal dan TKI ilegal. Pengertian dari TKI legal adalah => tenaga kerja Indonesia yang hendak mencari pekerjaan di luar negeri dengan mengikuti seluruh prosedur dan aturan serta mekanisme yang telah ditetapkan secara hukum tertulis, yang mana hal ini harus ditempuh untuk mendapatkan izin bekerja di luar negeri. Disamping itu, para pekerja juga disertai dengan surat-surat resmi yang menyatakan izin bekerja di luar negeri. TKI legal akan mendapatkan perlindungan hukum secara pasti, baik itu dari pemerintah Indonesia maupun dari pemerintah negara penerima. Oleh karena itu para TKI ini juga harus melengkapi dan menenuhi seluruh persyaratan legal yang diajukan oleh pihak imigrasi negara penerima. Dengan demikian para pekerja TKI legal ini, selanjutnya akan resmi terdaftar di instansi pemerintah kabupaten/kota yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, dan terdaftar di instansi terkait sebagai tenaga kerja asing di negara penerima. Para TKI legal juga memiliki perjanjian kerja, yaitu perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban pihak terkait, berdasarkan asas terbuka, bebas, objektif, serta adil dan setara tanpa deskriminasi, penempatan TKI legal diarahkan untuk menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat dan perlindungan hukum.

Sedangkan pengertian dari TKI illegal adalah Tenaga Kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri namun tidak memiliki izin resmi untuk bekerja di tempat tersebut, para TKI ini tidak mengikuti tata cara atau prosedur dan juga mekanisme hukum yang ada di indonesia dan pada negara penerima. Ada beberapa hal yang menyebabkan TKI dinyatakan sebagai pekerja asing dianggap ilegal:

  • Mereka yang bekerja di luar masa resmi mereka tinggal;
  • Mereka yang bekerja di luar ruang lingkup aktivitas diizinkan untuk status mereka;
  • Mereka yang bekerja tanpa status kependudukan yang izin kerja atau tanpa izin;
  • Orang-orang yang memasuki negara itu secara tidak sah untuk tujuan terlibat dalam kegiatan yang menghasilkan pendapatan atau bisnis;

Permasalahan Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

Sebenarnya permasalahan TKI di luar negeri adalah dimulai dari dalam negeri (Negara Indonesia) sendiri. Kenapa kami mengatakan demikian? Hal ini disebabkan persoalan pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri tidak terlepas dari carut-marutnya dan juga tidak propesionalnya pengelolaan TKI pada sejumlah perusahaan pengerah tenaga kerja ke luar negeri. Memang, dalam kenyataannya Indonesia mengalami surplus angka tenaga kerja. Sehingga kondisi ini mengakibatkan jumlah penawaran tenaga kerja melampaui permintaannya.

Kondisi ini terus diperparah dengan semakin sulitnya memperoleh pekerjaan di dalam negeri mendorong sebagian pekerja mengadu nasib di luar negeri. Tekanan penduduk (population pressure) dalam beberapa tahun kedepan akan semakin besar. Dimana, sekitar 56% pekerja Indonesia hanya lulusan SD ke bawah, sementara kesempatan kerja untuk para lulusan SD semakin sedikit. Kondisi ini diperburuk tidak adanya sistem jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan. Setiap orang bertanggung jawab atas dirinya sendiri untuk memperoleh pekerjaan yang layak. Sehingga mau tidak mau dan tidak ada pilihan lain, agar bisa tetap bertahan hidup harus mendapatkan pekerjaan meskipun itu harus bekerja ke luar negeri.

Memang, banyaknya kesempatan bekerja ke luar negeri menjadi salah satu solusi untuk mengatasi surplus tenaga kerja dalam negeri Indonesia. Tetapi, jika tidak dikelola dengan baik, maka akan terus menimbulkan masalah. Data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI) menunjukkan adanya tren kenaikan TKI bermasalah, dimana data mencatat jumlah WNIO (Warga Negara Indonesia Overstay/TKIB (Tenaga Kerja Indonesia Bermasalah) yang berada di Malaysia sebanyak 1.250.000 orang, di Arab Saudi 588.075 orang  dan negara lain 32.073 orang. Dari jumlah tersebut, pemerintah telah memulangkan  selama tahun 2014 WNIO dari Arab Saudi sebanyak 20.379 orang, sedangkan dari Malaysia sebanyak 26.428 orang.

Berdasarkan data dari Puslitfo BNP2TKI mencatat, sepanjang tahun 2014 dari jumlah penempatan TKI sebanyak 429.872 orang, pada 25 negara, dimana yang tertinggi adalah Malaysia 127.827 orang, Taiwan 82.665, Arab Saudi 44.325, Hong Kong 35.050, Singapura 31.680, Oman 19.141, Uni Emirat Arab (UEA) 17.962, Korea Selatan 11.848, Brunei Darussalam 11.616, United States 9.233, Qatar 7.862, Bahrain 5.472, Jepang 2.428, Kuwait 1.714, Italia 1.295, Turki 1.246, China 915, Fiji Islands 902, Spanyol 889, Mauritius 838, Canada 830, Netherlands 796, Thailand 717, Australia 644, dan Afrika Selatan 587. Sedangkan sisanya sebanyak 11.390 TKI tersebar di berbagai negara penempatan lainnya.

Awal Permasalahan

Timbulnya masalah TKI sejak pemerintah membuka kran sebesar-besarnya proses perekrutan TKI di Indonesia, dimana pada umumnya penyaluran TKI melalui agen tenaga kerja, baik yang legal maupun ilegal. Agen TKI mengontrol hampir seluruh proses awal, mulai dari rekrutmen, paspor dan aplikasi visa, pelatihan, transit, dan penempatan negara tujuan TKI. Banyak TKI baru pertama kali ke luar negeri, direkrut makelar yang datang ke desanya, dengan janji upah tertentu, pilihan pekerjaan yang banyak, dan menawarkan bantuan kemudahan proses.

Kondisi ini dipicu juga oleh rendahnya pendidikan calon TKI mengakibatkan mereka menghadapi risiko mudah ditipu pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Mereka tidak memahami aturan dan persyaratan untuk bisa bekerja di luar negeri. Rendahnya laporan TKI yang mengalami kasus tertentu ke pihak berwenang juga didasarkan kekhawatiran mereka, karena memiliki identitas jati diri yang palsu. Banyak TKI usianya masih terlalu muda, namun demi kelancaran proses, usia di dokumen dipalsukan. Pemalsuan tidak hanya usia, tetapi juga nama dan alamat. Hal ini jugalah yang menyebabkan tidak mudah melacak para TKI bermasalah di luar negeri.

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri

Dalam Pelaksanaan Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI pada dasarnya mempunyai 2 (dua) sisi kebutuhan yang tidak dapat dipisahkan dalam segala bentuknya yaitu: adanya komitmen nasional atas dasar keutuhan persepsi bersama untuk menggalang dan melaksanakan koordinasi lintas regional dan sektoral, baik vertikal maupun horizonal, termasuk perlunya ada kejelasan proporsi peran dan tanggung jawab antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, PPTKIS dan sarana pendukung utama dalam penyiapan TKI yang berkualitas dan bermartabat. Kejelasan proporsi dan tanggung jawab tersebut perlu dijalin dalam rangka menggalang kemitraan (Spirit Indonesia Incorporate) karena ketika TKI berangkat dan bekerja di luar negeri akan menyangkut permasalah harkat dan martabat manusia Indonesia, Bangsa, Negara dan Pemerintahan dipercaturan Dunia Internasional. Kegiatan pelayanan penempatan dan perlindungan TKI pada dasarnya bertumpu pada jasa manusia yang melekat pada diri manusia yang memiliki hak asasi, harkat dan martabat yang terkait langsung dengan kegiatan ekonomi dan sosial, sehingga berbagai pihak berminat dan mudah melibatkan diri untuk dapat dimanfaatkan dan dipolitisir untuk kepentingan kelompok atau golongan masyarakat tertentu.

Dalam rangka untuk meminimalisir dampak negatif dari pelayanan penempatan dan perlindungan TKI, campur tangan Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah secara integral adalah sangat dibutuhkan, guna mencegah TKI menerima pekerjaan yang non remuneratif, eksploitatif, penyalahgunaan, penyelewengan serta menimalisir besarbta biaya sosial yang ditimbulkannya.   Pemerintah sangat menyadari bahwa untuk melarang atau mempengaruhi keputusan masyarakat untuk tidak bekerja di luar negeri memang sangat sulit, karena di samping menyangkut hak asasi manusia yang dilindungi Undang-undang dan juga menyangkut otoritas dan kedaulatan suatu Negara. Walaupun begitu Undang-undang juga mewajibkan Pemerintah untuk mengambil langkah-langkah berupa kebijakan yang tepat dan efisien guna meminimalisir permasalahan dan memberikan perlindungan secara menyeluruh kepada setiap TKI yang bekerja di luar negeri.

Peran Pemerintah Mengatasi Masalah Ketenagakerjaan (TKI)

Melihat kondisi dan nasib TKI, kami memandang pemerintah perlu menertibkan para agen TKI ilegal untuk menghindari permasalahan TKI sejak mulai dari proses awal. Kita tidak dapat pungkiri bahwa bahwa permasalahan TKI ini berawal dari dalam negeri sendiri, meskipun akar penyelesaian masalah di luar negeri juga tidak bisa diabaikan. Rendahnya kesempatan memperoleh pekerja yang layak dan semakin tingginya pertumbuhan jumlah penduduk sebagai akibat mengendurnya berbagai kebijakan kependudukan berdampak pada meningkatnya aliran pekerja dengan pendidikan rendah untuk bekerja ke luar negeri. Sehingga peran serta dan juga solusi untuk mengatasinya dari pemerintah sebagai regulator sangat diperlukan dalam menangani masalah ketenagakerjaan TKI, hal tersebut agar masalah TKI bisa teratasi dan para TKI bisa sejahtera.

Selain itu, perlu koordinasi yang lebih baik antara Perlindungan TKI (BNP2TKI) dan Kemenakertrans. Pemerintah harus lebih fokus untuk mengungkapkan solusi dan bukan sekadar mengungkapkan masalahnya. Semua pihak harus segera duduk bersama dan menanggalkan seluruh ego yang ada. Instrumen kebijakan untuk mengatasi masalah TKI tidak harus terkait langsung dengan urusan TKI itu sendiri. Karena pada dasarnya, Indonesia saat ini membutuhkan komitmen kebijakan kependudukan yang kuat dan secara tidak langsung akan mengatasi masalah TKI pada jangka panjang.

Semoga Bermanfaat.

Deny, S.H

081250106444

Hak-Hak Tersangka dan Terdakwa

penjara

Agar tersangka ataupun terdakwa tidak diperlakukan sewenang-wenang oleh penegak hukum. Maka pemerintah kemudian memberikan hak-hak bagi tersangka dan terdakwa sebagaiman diatur dalam Bab VI KUHAP mulai dari Pasal 50 sampai dengan Pasal 68. M. Yahya Harahap (2010: 332-338), mengelompokkan hak-hak tersebut sebagai berikut:

Hak tersangka atau Terdakwa segera mendapat pemeriksaan

Penjabaran prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan dipertegas dalam Pasal 50 KUHAP, yang memberikan hak yang sah menurut hukum dan undang-undang kepada tersangka/terdakwa:

  1. Berhak segera untuk diperiksa oleh penyidik.
  2. Berhak segera diajukan ke sidang pengadilan
  3. Berhak segera diadili dan mendapat putusan pengadilan (speedy trial right).

Hak untuk melakukan pembelaan

Untuk kepentingan mempersiapkan hak pembelaan tersangka atau terdakwa, undang-undang menentukan beberapa pasal (Pasal 51 sampai dengan Pasal 57), yang dapat dirinci:

  1. Berhak diberitahukandengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti oleh tentang apa yang disangkakan padanya.
  2. Hak pemberitahuan yang demikian dilakukan pada waktu pemeriksaan mulai dilakukan terhadap tersangka.
  3. Terdakwa juga berhak untuk diberitahukan dengan jelsa dengan bahasa yang dapat dimengerti tentang apa yang didakwakan kepadanya.
  4. Berhak memberikan keterangan dengan bebas dalam segala tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat pemeriksaan penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan.
  5. Berhak mendapatkan juru bahasa.
  6. Berhak mendapat bantuan hukum

Guna pembelaan kepentingan diri, tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan bantuan hukum oleh seseorang atau beberapa orang penasihat huku, pada: Setiap tingkat pemeriksaan, dan Dalam setiap waktu yang diperlukan.

  1. Berhak secara bebas memilih penasihat hukum
  2. Dalam tindak pidana tertentu, hak mendapatkan bantuan hukum berubah sifatnya menjadi wajib.

Sifat wajib mendapatkan bantuan hukum bagi tersangka atau terdakwa dalam semua tingkat pemeriksaan diatur dalam Pasal 56 KUHAP:

Jika sangkaan atau terdakwa yang disangkakan atau didakwakan diancam dengan tindak pidana:

  1. Hukuman mati,
  2. Hukuman lima belas tahun atau lebih

Dalam kedua kategori ancaman hukuman ini, tidak dipersoalkan apakah mereka mampu atau tidak. Jika mereka mampu boleh memilih dan membiayai sendiri penasihat hukum yang dikehendakinya. Jika tidak mampu menyediakan dan membiayai sendiri, pada saat itu timbul “kewajiban” bagi pejabat yang bersamgkutanuntuk “membujuk” penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa. Kalau tersangka ata terdakwa sendiri menyediakan penasihat hukumnya, hapus kewajiban pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat hukum. apabila tersanhgka atau terdakwa tidak mampu atau tidak ada membujuk penasihat hukum, dengan sendirinya terpikul kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk membujuk penasihat hukum.

Kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan menunjuk penasihat hukum bagi tersamgka atau terdakwa, digantungkan pada dua keadaan:

  1. Tersangka atau terdakwa “tdiak mampu” menyediakan sendiri penasihat hukumn ya, dan
  2. Ancaman hukuman pidana yang bersangkutan atau didakwakan lima tahun atau lebih.

Kita lihat, pada kewajiban yang pertama tidak digantungkan pada ketidakmampuan tersangka atau terdakwa mendapatkan  penasihat hukum. semata-mata kewajiban menunjuk penasihat hukum digantungkan pada beratnya ancaman hukuman. Pokoknya jika tindak pidana yanga diancamkan kepadanya hukuman mati atau hukuman penjara lima belas tahun atau lebih, tersangka atau terdakwa wajib mendapat bantuan hukum dari penasihat hukum, baik atas usahanya sendiri maupun atas penunjukan pejabat yang bersangkutan. Lain halnya pada sifat kewajiban yang kedua, kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum bagi tersangka atau terdakwa, digantungkan pada dua syarat. Syrata pertama digantungkan pada keadaan “ketidakmampuan” tersangka atau terdakwa menyediakan penasihat hukum. kalau tersangka dianggap mampu, tidak ada kewajiban bagi pejabat untuk menunjuk penasihat hukum. syarat kedua, digantungkan kepada beratnya ancaman hukuman, lima tahun atau lebih. Kalau ancaman hukuman pidana yang disangkakan atau didakwakan kepadanya lima tahun atau lebih, dan dia tidak mampu menyediakan penasihat hukum, pejabat yang bersangkutan “wajib” menunjuk penasihat hukum baginya.

Timbul masalah. Bagaimana jika seorang tersangka dianggap mampu tetapi tidak mau atau tidak menyediakan penasihat hukum. apakah dalam hal ini dibebani kewajiban bagi pejabat yang bersangkutan untuk menunjuk penasihat hukum baginya? Tidak! Beban kewajiban penunjukkan itu oleh Pasal 56, digantungkan pada syarat ketidakmampuan. Kalau tersangka atau terdakwamemang mampu, tetapi tidak mau mendapatkan dan menyiapkan bantuan penasihat hukum, oleh undang-undang dianggap risiko dia sendiri. Ketentuan ini menurut hemat kami ada unsur ketidakadilan. Ketentuan ini lebih mendekatkan bantuan penasihat hukum bagi mereka yang miskin. Sedang bagi mereka yang kaya dan mampu, disuruh sendiri menyediakan bantuan penasihat hukum baginya. Cuma yang jadi pertanyaan adalah batas kemampuan dan ketidakmampuan inikadang-kadang sifatnya nisbi. Namun barangkali, ukurannya dapat ditentukan berdasarkan surat keterangan dari lurah atau pejabat pamong di tempat tinggal tersangka atau terdakwa.

Penasihat hukum yang ditunjuk pejabat memberi bantuan hukum adalah cuma-cuma.

Dengan ketentuan ini, baiktersangka atau terdakwa maupun negara tidak dibebani untuk membayar jasa bantuan yang diberikan penasihat hukum yang ditunjuk. Sampai dimana idealisme cara pemberian bantuan hukum yang cuma-cuma, belum dapat digambarkan. Barang kali secara jujur, tidak berlebihan untuk mengungkapkan pengalaman dan kenyataan yang kita lihat. Apa yang terkandung dalam pemberian jasa bantuan hukum yang cuma-cuma, sering mengecewakan. Tidak jarang pengadilan memintakan bantuan hukum kepada suatu lembaga bantuan hukum baik yang bergerak sebagai profesi maupun dari kalangan perguruan tinggi. Yang mereka tampilkan pada umumnya hanya tenaga yang baru memulai praktek. Seolah-olah penilaian bantuan hukum secara Cuma-Cuma ini bagi sebagian kalangan lembaga bantuan hukum, tiada lain tempat belajar dan kurang sungguh-sungguh. Lebih mirip hanya untuk memenuhi permintaan pejabat saja tanpa dibarengi motivasi kesadaran idealisme. Mungkin dalam pemberian pelayanan hukum oleh sebagian kalangan, terlampau diperhitungkan dengan imbalan jasa. Apa yang kita saksikan, pada umumnya bantuan pelayanan hukum yang diberikan kepada yang miskin jarang terjadi karena tidak komersial, dalam arti klien yang tidak punya duit. Tetapi coba kalau klien itu hartawan, semua persiapan diatur rapi oleh pemberi bantuan hukum.

Hak tersangka atau terdakwa yang berada dalam penahanan

Hal terdakwa yang telah dibicarakan adalah hak yang berlaku pada umunya terhadap tersangka/terdakwa baik yang berada dalam penahanan atau di luar penahanan. Di samping hak-hak tersangka atau terdakwa yang umumnya tersebut, undang-undang masih memberikan lagi hak yang melindungi tersangka atau terdakwa yang berada dalam penahanan.

  1. Berhak menghubungi penasihat hukum Jika tersangka/terdakwa orang asing, berhak menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya dalam menghadapi jalannya proses pemeriksaan.
  2. Berhak menghubungi dan menerima kunjungan dokter pribadi untuk kepentingan kesehatan baik yang ada hubungannya dengan proses perkara maupun  tidak.
  3. Tersangka atau terdakwa berhak untuk diberitahukan penahanannya kepada: Keluarganya Atau kepada orang yang serumah dengannya Atau orang lain yang dibutuhkan bantuannya, Terhadap orang yang hendak memberi bantuan hukum atau jaminan bagi penangguhan penahanannya.
  4. Selama tersangka berada dalam penahanan berhakMenghubungi pihak keluarga, dan Mendapat kunjungan dari pihak keluarga Berhak secara langsung atau dengan perantaraan penasihat hukum melakukan hubungan: Menghubungi dan menerima sanak keluarganya, Baik hal itu untuk kepentingan perkaranya. Atau untuk kepentingan keluarga, dan, Maupun untuk kepentingan pekerjaannya.
  5. Berhak atas surat-menyurat; Hal ini diatur dalam Pasal 62, yang memberi hak sepenuhnya kepada tersangka atau terdakwa yang berada dalam penahanan: Mengirim dan menerima surat kepada dan dari penasihat hukumnya, Mengirim dan menerima surat kepada dan dari sanak keluarganya, Kebebasan hak surat-menyurat, tidak etrbatas, tergantung pada kehendak tersangka atau terdakwa kapan saja yang disukainya. Pejabat Rutan harus menyediakan  alat-alat tulis yang diperlukan untuk terlaksananya surat-menyurat tersebut.
  6. Berhak atas kebebasan rahasia surat: Tidak boleh diperiksa oleh penyidik, penuntut umum, hakim dan pejabat rumah tahan negara. Kecuali cukup alsan untuk menduga bahwa surat-menyurat tersebut disalhgunakan.Dengan adanya kecurigaan penyalahgunaan surat-menyurat, menjadi penyebab hapusnya larangan bagi para penjabat yang berwenang untuk membuka dan memeriksa hubungan surat-menyuratnya antara tersangka atau terdakwa dengan keluarga atau dengan penasihat hukumnya.Kalau suatu surat yang diduga berisi penyalahgunaan, dan kemudian surat tersebut “ditilik” atau diperiksa oleh pejabat yang bersangkutan (penyidik atau penuntut, hakim maupun pejabat rutan) amak pembukaan, pemeriksaan atau pemilikan surat itu: Harus diberitahukan kepada tersangka atau terdakwa Kemudian surat yang telah ditilik tadi dikirim kembali kepada alamat si pengirim setelah dibubuhi cap yang berbunyi “telah ditilik”.
  7. Tersangka atau terdakwa berhak menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan.

Hak terdakwa di muka persidangan pengadilan

Disamping hak yang diberikan pada tersangka dan terdakwa selama dalam tingkat proses penyidikan dan penuntutan, KUHAP juga memberi hak kepada terdakwa selama proses pemeriksaan persidangan.

  1. Berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum
  2. Berhak mengusahakan dan mengajukan saksi atau ahli: Yang memberi keterangan kesaksian atau keterangan keahlian yang menguntungkan bagi terdakwa atau a de charge, Apabila terdakwa mengajukan saksi atau ahli yang akan memberi keterangan yang menguntungkan baginya, persidangan “wajib”memanggil dan memeriksa saksi atau ahli tersebut. Kesimpulan yang mewajibkan persidangan harus memeriksa saksi atau ahli a de charge yang diajukan terdakwa, ditafsirkan secara “secara konsisten” dari ketentuan Pasal 116 ayat 3 dan ayat 4, serta Pasal 160 ayat 1 huruf e KUHAP.

Terdakwa tidak boleh dibebani kewajiban pembuktian dalam pemeriksaan sidang, yang dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa adalah penuntut umum.

  1. Hak terdakwa memanfaatkan upaya hukum; Seperti yang diketahui, undang-undang memberi kemungkinan bagi terdakwa yang dijatuhi hukuman menolak atau tidak menerima putusan yang dijatuhkan pengadilan. ketidakpuasan atas putusan, memberi kesempatan bagi terdakwa: Berhak memanfaatkan upaya hukum biasa, berupa permintaan pemeriksaan tingkat banding kepda Pengadilan Tinggi atau permintaan pemeriksaan kasasi kepda Mahkamah Agung,Berhak memanfaatkan upaya hukum luar biasa, berupa permintaan pemeriksaan “Peninjauan Kembali” putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
  2. Berhak menuntut ganti rugi dan rehabilitasi; KUHAP memberi hak kepada tersangka untuk menuntut ganti rugi dan rehabilitasi, apabila: Penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan dilakukan tanpa alasan yang sah.Apabila putusan pengadilan menyatakan bahwa terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan tindak pidana kejahatan atau pelanggaran

Sedangkan tersangka atau terdakwa diberikan seperangkat hak-hak oleh KUHAP (Andi Hamzah, 2004: 66-67),secara sederhana sebagai berikut:

  1. Hak untuk diperiksa, diajukan ke pengadilan, dan diadili (Pasal 50 ayat 1, 2 dan 3).
  2. Hak untuk mengetahui dengan jelas dan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan dan apa yang didakwakan (Pasal 51 butir a dan b).
  3. Hak untuk memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik dan hakim seperti tersebut di muka (Pasal 52).
  4. Hak untuk mendapatkan juru bahasa (Pasal 53 ayat 1)
  5. Hak untuk mendapat bantuan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan (Pasal 54)
  6. Hak untuk mendapatkan nasihat hukum dari penasihat hukum yang ditujukan oelh pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat pemeriksaan bagi tersangka atau terdakwa yang diancam pidana mati dengan biaya Cuma-Cuma.
  7. Hak tersangka atau terdakwa yang berkebangsaan asing untuk menghubungi dan berbicara dengan perwakilan negaranya (Pasal 57 ayat 2).
  8. Hak untuk menghubungi dokter bagi tersangka atau terdakwa yang tahan (Pasal 58).
  9. Hak untuk diberitahu kepada keluarganya atau orang lain yang serumah dengan tersangka atau etrdakwa yang ditahan untuk mendapatkan bantuan hukum atau jaminan bagi penagguhannya dan hak untuk berhubungan dengan keluarga dengan maksud yang sama di atas (Pasal 59 dan 60).
  10. Hak untuk dikunjungi sanak keluarga yang tidak ada hubungan dengan perkara tersangka atau terdakwa. Un tuk kepentingan pekerjaan atau untuk kepentingan kekeluargaan (Pasal 61).
  11. Hak tersangka atau terdakwa untuk berhubungan surat-menyurat dengan penasihat hukumnya (Pasal 62)
  12. Hak tersangka atau terdakwa untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan (Pasal 63)
  13. Hak tersangka atau terdakwa untuk mengajukan saksi dan ahli yang a de charge (Pasal 65)
  14. Hak tersangka atau terdakwa untuk menuntut ganti kerugian (Pasal 68)

 

DENY, S.H

Pengacaara – Advocates – Legal Advisors – Legal Advis

+62 812 5010 6444

ANCAMAN HUKUMAN BAGI BANDAR DAN PENGEDAR NARKOBA

LEFLET NARKOBA1

Narkoba telah menjadi permasalahan yang sangat serius diberbagai negara diseluruh dunia tak terkecuali di Indonesia, mungkin kita sudah sering mengetahui dari berbagai media informasi telah sering dilakukan penangkapan terhadap pengedar narkoba baik itu melalui media elektronik,koran maupun kita lihat sendiri.sebenarnya ancaman hukuman penjara bagi pengedar narkoba sangat berat  di Indonesia, tetapi mengapa para pengedar tersebut tidak merasa takut dan bahkan warga negara asing sudah banyak yang ditangkap polisi karena berani membawa narkoba ke indonesia.ancaman hukuman pengedar narkoba di indonesia paling singkat 4 tahun dan maksimal hukuman mati.selain pemerintah yang konsisten selalu siap melaksanakan pemberantasan narkoba,alangkah baiknya kita juga mengetahui hukuman yang berlaku bagi pengedar narkoba tersebut yang tercantum dalam undang-undang nomor 35 tahun 2009 tentang narkotika.
MENANAM, MEMELIHARA, MEMILIKI, MENYIMPAN, MENGUASAI ATAU MENYEDIAKAN NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM BENTUK TANAMAN ( contoh:ganja)
  • Pasal 111 (1) :Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
  • Pasal 111 (2) : Dalam hal perbuatan menanam, memelihara, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya melebihi 1 kilogram atau melebihi 5 batang pohon, pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3

 

MEMILIKI, MENYIMPAN, MENGUASAI, ATAU MENYEDIAKAN NARKOTIKA BUKAN TANAMAN(contoh:sabu,ekstacy)
  • Pasal 112 ayat(1): Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika bukan tanaman dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
  • Pasal 117 ayat (1) : setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
  • Pasal 122 ayat (1): setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah.
MEMILIKI, MENYIMPAN, MENGUASAI ATAU MENYEDIAKAN NARKOTIKA BUKAN TANAMAN LEBIH DARI 5 GRAM
  • Pasal 112 ayat (2) : Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan I bukan tanaman lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun, dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3.
  • Pasal 117 ayat(2) :  Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan , menguasai atau menyediakan narkotika golongan II yang beratnya melebihi 5 gram ,pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3.
  • Pasal 122 ayat(2) :Dalam hal perbuatan memiliki, menyimpan, menguasai atau menyediakan narkotika golongan III beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana dengan paling banyak Rp 3 miliar ditambah 1/3.

 

MEMPRODUKSI, MENGIMPOR, MENGEKSPOR ATAU MENYALURKAN NARKOTIKA
  • Pasal 113 ayat(1) :Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan I  dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah.
  • Pasal 118 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi,mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun, dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
  • Pasal 123 ayat(1):Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.

 

MEMPRODUKSI, MENGIMPOR, MENGEKSPOR, ATAU MENYALURKAN NARKOTIKA DALAM BENTUK TANAMAN LEBIH DARI 1 KILOGRAM/5 BATANG POHON ATAU BUKAN TANAMAN LEBIH DARI 5 GRAM
  • Pasal 113 AYAT (2) : Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon, atau dalam bentuk bukan tanaman berat lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati, penjara seumur hidup, paling singkat 5 tahun, paling lama 20 tahun, dan denda maksimum 10 miliar ditambah 1/3.
  • Pasal 118 ayat(2): Dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor atau menyalurkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat(1) beratnya lebih dari 5 gram ,pelaku dipidana mati, penjara seumur hidup, penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3.
  • Pasal 123 ayat(2) : dalam hal perbuatan memproduksi, mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat(1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3.
MENAWARKAN UNTUK DIJUAL, MENJUAL, MEMBELI, MENERIMA, MENJADI PERANTARA DALAM JUAL BELI, ATAU MENYERAHKAN
  • Pasal 114 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan I, pelaku dipidana penjara seumur hidup, penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar rupiah.
  • Pasal 119 ayat(1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar atau menyerahkan narkotika golongan II,pelaku dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
  • Pasal 124 ayat (1) :Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun,dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
MENAWARKAN UNTUK DIJUAL,MENJUAL, MEMBELI, MENERIMA, MENJADI PERANTARA DALAM JUAL BELI ATAU MENYERAHKAN
  • Pasal 114 ayat (2) : dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan I sebagaimana dimaksud pada ayat(1) yang dalam bentuk tanaman beratnya lebih dari 1 kilogram atau 5 batang pohon, atau dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana mati, penjara seumur hidup, paling singkat 6 tahun, paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar ditambah 1/3.
  • Pasal 119 ayat (2) : Dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual,menjual,membeli,menerima,menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan II sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram dipidana mati,penjara seumur hidup,penjara paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun, dan denda paling banyak Rp 8 miliar ditambah 1/3
  • Pasal 124 ayat(2) :dalam hal perbuatan menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli atau menyerahkan narkotika golongan III sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda paling banyak Rp 5 miliar ditambah 1/3.

 

 MEMBAWA,MENGIRIM,MENGANGKUT ATAU MENTRANSITO
  •  Pasal 115 ayat (1) : setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan I dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 miliar rupiah.
  • Pasal 120 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan II dipidana penjara paling singkat 3 tahun, paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 600 juta rupiah dan paling banyak Rp 5 miliar rupiah.
  • Pasal 125 ayat (1) : Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum membawa,mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan III dipidana penjara paling singkat 2 tahun, paling lama 7 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 400 juta rupiah dan paling banyak Rp 3 miliar rupiah.

 

 MEMBAWA,MENGIRIM,MENGANGKUT ATAU MENTRANSITO NARKOTIKA GOLONGAN I DALAM BENTUK TANAMAN LEBIH DARI 1 KILOGRAM ATAU 5 BATANG POHON ATAU DALAM BENTUK BUKAN TANAMAN BERATNYA LEBIH DARI 5 GRAM
  • Pasal 115 ayat(2): dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut, atau menransito narkotika golongan I sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) beratnya lebih dari 1 kilogram atau lebih dari 5 batang pohon dan dalam bentuk bukan tanaman beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara seumur hidup, penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 20 tahun dan pidana denda paling banyak Rp 8 miliar rupiah ditambah 1/3.
  • Pasal 120 ayat(2) : dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan II sebagaimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram pelaku dipidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp 5 miliar rupiah ditambah 1/3.
  • Pasal 125 ayat (2): dalam hal perbuatan membawa, mengirim, mengangkut atau mentransito narkotika golongan III sebagimana pada ayat (1) beratnya lebih dari 5 gram, pelaku dipidana penjara paling singkat 3 tahun, paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 3 miliar rupiah ditambah 1/3.

 

MENGGUNAKAN NARKOTIKA TERHADAP ATAU DIBERIKAN UNTUK ORANG LAIN
  • Pasal 116 ayat(1) : Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menggunakan narkotika golongan I terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan I untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 5 tahun, paling lama 15 tahun, pidana denda paling sedikit Rp 1 miliar rupiah dan paling banyak rp 10 miliar rupiah.
  • Pasal 121 ayat(1) setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum menggunakan narkotika golongan II terhadap orang lain atau memberikan narkotika golongan II untuk digunakan orang lain dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 12 tahun,dan denda Paling sedikit Rp 800 juta rupiah dan paling banyak Rp 8 Miliar rupiah.

 

 MENGGUNAKAN NARKOTIKA TERHADAP ATAU DIBERIKAN UNTUK ORANG LAIN YANG MENGAKIBATKAN ORANG LAIN MATI ATAU CACAT PERMANEN
  • Pasal 116 ayat (2) :Dalam hal penggunaan narkotika terhadap orang lain atau pemberian narkotika golongan I untuk orang lain sebagaimana dimaksud pada ayat I mengakibatkan mengakibatkan orang lain mati atau cacat permanen pelaku dipidana mati atau penjara seumur hidup, paling singkat 5 tahun,paling lama 20 tahun,denda paling banyak Rp 10 miliar rupiah ditambah 1/3.

 

DENY, S.H

Pengacara – Advocates – Legal Consultant – Mediator – Legal Auditor – Legal Advis

+62 812 5010 6444

TEROR CREDIT CARD

Demi perlindungan konsumen, BI pun mengatur penggunaan jasa Debt Collector pada penagihan kartu kredit. Pada tanggal 7 Juni 2012 BI telah mengeluarkan Surat Edaran (SE) No. 14/ 17 /DASP yang mengacu kepada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 14/2/PBI/2012 tentang Penyelenggaraan Kegiatan Alat Pembayaran dengan Menggunakan Kartu (APMK).

Regulasi terbaru tersebut membuat penerbitan dan penggunaan APMK menjadi lebih ketat, yang mencakup prinsip perlindungan nasabah, prinsip kehati-hatian dan manajemen risiko dalam pemberian Kartu Kredit, standar keamanan APMK, kerjasama antara penyelenggara APMK dengan pihak lain, dan penyampaian laporan. Tata cara penagihan, termasuk penggunaan jasa Debt Collector dalam penagihan kartu kredit, pun diatur lebih rinci dan ketat.

Dalam melakukan penagihan Kartu Kredit baik menggunakan tenaga penagihan sendiri atau tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, Penerbit Kartu Kredit wajib memastikan bahwa:

1. Tenaga penagihan telah memperoleh pelatihan yang memadai terkait dengan tugas penagihan dan etika penagihan sesuai ketentuan yang berlaku;

2. Identitas setiap tenaga penagihan ditatausahakan dengan baik oleh Penerbit Kartu Kredit;

3. Tenaga penagihan dalam melaksanakan penagihan mematuhi pokok-pokok etika penagihan.

Jika Anda tiba-tiba didatangi debt-collector, pastikan mereka menggunakan kartu identitas resmi yang diterbitkan penerbit kartu kreditnya. Perhatikan nama dan foto diri yang wajib terpampang pada kartu identitas. Kita pun berhak menolak jika mereka datang ke kantor kita, atau ke alamat lain yang tidak tercantum dalam alamat penagihan atau domisili pada saat persetujuan penerbitan kartu kredit.

BI pun melarang penagihan dengan menggunakan cara ancaman, kekerasan dan/atau tindakan yang bersifat mempermalukan pemegang kartu kredit. Tekanan secara fisik atau verbal pun dilarang. Pihak yang ditagih pun harus pemegang kredit yang bersangkutan, bukan istri, anak, atau keluarga lainnya.

Modus lama yang sering dilakukan adalah debt collector menelpon secara intesif, bahkan tak jarang dengan seperti teror dan mengeluarkan kata-kata yang jauh dari ramah. Kini BI melarang praktek-praktek seperti itu. Intinya, boleh menggunakan sarana komunikasi, namun dilarang melakukannnya secara terus menerus yang bersifat mengganggu.

Penagihan hanya dapat dilakukan pada pukul 08.00 sampai dengan pukul 20.00 wilayah waktu alamat Pemegang Kartu Kredit. Penagihan di luar tempat dan/atau waktu hanya dapat dilakukan atas dasar persetujuan dan/atau perjanjian dengan Pemegang Kartu Kredit terlebih dahulu.

Selain memenuhi pokok-pokok etika penagihan sebagaimana tersebut di atas, Penerbit Kartu Kredit juga harus memastikan bahwa pihak lain yang menyediakan jasa penagihan yang bekerjasama dengan Penerbit Kartu Kredit juga mematuhi etika penagihan yang ditetapkan oleh asosiasi penyelenggara APMK.

Dalam hal penagihan Kartu Kredit dilakukan menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan, juga berlaku ketentuan sebagai berikut:

  1. Penagihan Kartu Kredit menggunakan tenaga penagihan dari perusahaan penyedia jasa penagihan hanya dapat dilakukan jika kualitas tagihan Kartu Kredit dimaksud telah termasuk dalam kualitas macet berdasarkan kriteria kolektibilitas sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai kualitas kredit;
  2. Kerjasama antara Penerbit Kartu Kredit dengan perusahaan penyedia jasa penagihan wajib dilakukan sesuai ketentuan Bank Indonesia yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian bagi bank umum yang melakukan penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada pihak lain, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan
  3. Penerbit Kartu Kredit wajib menjamin kualitas pelaksanaan penagihan Kartu Kredit oleh perusahaan penyedia jasa penagihan sama dengan jika dilakukan sendiri oleh Penerbit Kartu Kredit.

Bagi anda yang saat ini pusing dengan masalah tagihan kartu kredit, capek ditagih-tagih plus dengan teror debt colector saat ini Bank Indonesia telah menyediakan fasilitas lembaga mediasi perbankan.

Lembaga Mediasi Perbankan ini telah disosialisasikan melalui Peraturan Bank Indonesia No. 8/5/PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006 dan Surat Edaran Bank Indonesia No. 8/14/DPNP tanggal 1 Juni 2006 sehingga dengan demikian Bank Indonesia telah menjalankan fungsi mediasi perbankan sebagai sarana yang sederhana, murah, dan cepat dalam hal penyelesaian pengaduan nasabah oleh Bank belum dapat memuaskan nasabah dan menimbulkan sengketa antara nasabah dengan bank. Pengajuan penyelesaian sengketa dimaksud dapat disampaikan kepada Bank Indonesia oleh Nasabah atau Perwakilan Nasabah dengan persyaratan sebagai berikut :

  1. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa keperdataan yang timbul dari transaksi      keuangan.
  2. Sengketa yang dapat diajukan adalah sengketa yang timbul dari hasil penyelesaian pengaduan Nasabah yang telah dilakukan oleh Bank.
  3. Nasabah tidak dapat mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immaterial. Yang dimaksud kerugian immaterial antara lain adalah kerugian karena pencemaran nama baik dan perbuatan tidak menyenangkan.
  4. Nilai tuntutan finansial diajukan dalam mata uang rupiah dengan jumlah maksimal adalah Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jumlah tersebut dapat berupa kumulatif dari kerugian finansial yang telah terjadi pada Nasabah, potensi kerugian karena penundaan atau tidak dapat dilaksanakannya transaksi keuangan Nasabah dengan pihak lain, dan atau biaya-biaya yang telah dikeluarkan Nasabah untuk mendapatkan penyelesaiannya Sengketa.
  5. Batas waktu pengajuan adalah paling lambat 60 (enampuluh) hari kerja, yang dihitung sejak tanggal surat hasil penyelesaian pengaduan Nasabah dari Bank
  6. Nasabah mengajukan penyelesaian sengketa kepada lembaga Mediasi perbankan secara tertulis dengan menggunakan formulir terlampir atau dibuat sendiri oleh Nasabah dan dilengkapi dokumen pendukung antara lain:
    1. Foto copy surat hasil penyelesaian pengaduan yang diberikan Bank kepada Nasabah.
    2. Foto copy bukti identitas Nasabah yang masih berlaku.
    3. Surat penyataan yang ditandatangani di atas meterai yang cukup bahwa Sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau telah mendapatkan keputusan dari lembaga arbitrase, peradilan, atau lembaga Mediasi lainnya dan belum pernah diproses dalam Mediasi perbankan yang difasilitasi oleh Bank Indonesia.
    4. Foto copy dokumen pendukung yang terkait dengan Sengketa yang diajukan
    5. Foto copy surat kuasa, dalam hal pengajuan penyelesaian Sengketa dikuasakan.
  7. Formulir yang telah diisi dan dilengkapi dokumen pendukung disampaikan kepada : Bank Indonesia

Semoga Bermanfaat

DENY, S.H

Pengacara – Advocate – Legal Consultant – Mediator – Legal Auditor – Legal Advis

+62 812 5010 6444

Pialang Berjangka

th (9)

Pialang Perdagangan Berjangka, yang selanjutnya disebut Pialang Berjangka, adalah badan usaha yang melakukan kegiatan jual beli Komoditi berdasarkan Kontrak Berjangka atas amanat Nasabah dengan menarik sejumlah uang dan/atau surat berharga tertentu sebagai margin untuk menjamin transaksi tersebut.

Dalam menjaring nasabahnya, Pialang Berjangka wajib dan harus tunduk pada ketentuan etika/ pedoman perilaku sebagaimana dimaksud dan diatur Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi dan Peraturan-peraturan yang ditetapkan dan dikeluarkan oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka komoditi).

Pasal 50 Undang-Undang No. 32 Tahun 1997, mensyaratkan bahwasanya Pialang Berjangka dalam menjalankan usahanya dan ketika berhadapan dengan calon nasabah/ nasabah wajib mengetahui latar belakang, keadaan keuangan, dan pengetahuan mengenai Perdagangan Berjangka dari Nasabahnya (pasal 50 ayat (1) UU No. 32/1997). Bahwa kemudian, dalam rangka perlindungan Nasabah, Pialang Berjangka wajib terlebih dahulu menyampaikan Dokumen Keterangan Perusahaan kepada Nasabahnya, yang antara lain memuat keterangan mengenai organisasi dan kepengurusan perusahaan tersebut. Dokumen keterangan perusahaan ini tidak sama dengan dokumen “company profile” yang kerap ditawar-tawarkan pihak marketing kepada calon klien/ nasabahnya. Adapun yang dikatakan Dokumen keterangan Perusahaan adalah sebagaimana yang dimaksud Pasal 3 ayat (1) huruf (b) Peraturan Kepala Bappebti No. 64/ Bappebti/ per/ 1/ 2009 tentang Perubahan Peraturan Kepala Bappebti No.63/Bappebti/per/9/2008 tentang KETENTUAN TEKNIS PERILAKU PIALANG BERJANGKA yakni dokumen Keterangan Perusahaan berupa profil perusahaan yang telah disetujui Bappebti yang isinya berpedoman pada Formulir Nomor: IV.PRO.9.

Setelah menjelaskan dokumen keterangan perusahaan, Pialang Berjangka diwajibkan terlebih dahulu untuk menjelaskan segala risiko yang mungkin dihadapi Nasabahnya, sebagaimana tercantum dalam Dokumen Pemberitahuan Adanya Risiko. Apabila Nasabahnya mengerti dan dapat menerima risiko tersebut, Nasabah tersebut harus menandatangani dan memberi tanggal pada dokumen tersebut, yang menunjukkan bahwa yang bersangkutan telah mengerti risiko yang akan dihadapi dan menyetujuinya (pasal 50 ayat (2) UU No. 32/1997).

Perlu diperhatikan, bahwasanya berdasarkan Pasal 7 huruf (b) Peraturan Kepala Bappebti No.64/Bappebti/per/1/2009, Pegawai Pialang Berjangka atau pihak lainnya yang memiliki kepentingan dengan Perusahaan Pialang Berjangka dilarang: secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi calon Nasabah atau Nasabah dengan memberikan informasi yang menyesatkan untuk melakukan transaksi Kontrak Berjangka. Jadi, dalam aktifitasnya mencari nasabah, wakil pialang dan atau marketing Pialang Berjangka tidak diperkenankan untuk memberikan prediksi keadaan pasar bursa berjangka kepada calon nasabah/ nasabahnya apalagi menjanjikan suatu keuntungan (profit) dari nilai investasi yang diberikan.